Kebenaran Wahyu Mutlak, Kebenaran Ilmu Berubah, Ingin Contoh? Tafsir Al-Quran Aktual | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Kebenaran Wahyu Mutlak, Kebenaran Ilmu Berubah, Ingin Contoh? Tafsir Al-Quran Aktual

Editor: MMA
Selasa, 19 Desember 2023 08:38 WIB

Dr. KH Ahmad Musta'in Syafi'i. Foto: NOJ

Hanya mengedepankan, bahwa itu mutlak, titik. Soal seperti apa kebenaran tersebut ditilik dari keilmuan, atau keilmuan ditilik dari nash al-Qur’an itu membutuhkan kajian tersendiri.

Hanya saja, dalam disiplin bertafsir ada disebut al-Tafsir al-‘Ilmy. Tafsir corak ini lazimnya menyoroti ayat-ayat kawniyah dan al-imam al-Thanthawy al-Jauhary telah memulai menulis disiplin ini dan menyajikan temuan-temuan sesuai zamannya.

Kebenaran wahyu itu mutlak, tapi kebenaran ilmu tidak mutlak, bisa berubah, apalagi bidang sains dan tehnologi. Temuan-temuan abad modern ini berkembang pesat dan menggugurkan temuan lama. Lihat saja perubahan alat komunikasi, dari menggunakan media kabel beralih ke gelombang dan signal.

Seratus tahun yang lalu, orang tidak percaya ada orang bisa omong-omong langsung dengan wong di Arab Saudi, tanpa kabel. “waw, wali be-e, dan lain-lain.”.

Ya, karena Allah SWT belum membuka ilmu tentang itu. Sekarang, justeru kalau tidak nyambung malah dipersoalkan. Hp-mu error, pulsamu habis dan lain-lain.

Thomas Samuel Kuhn, ilmuwan Amerika Serikat (1996) terkenal sebagai ahli yang punya idiom paradigma. Mulanya adalah ilmu normal, ilmu yang sudah mapan dan diakui dunia pada masanya. Lalu, dalam perjalanannya berhadapan dengan anomali-anomali sehingga terjadi chaos, kekacauan. Kemudian timbul paradigma baru atau new paradigm. Dan siklus macam itu terus bergerak.

Itulah sebabnya, maka al-imam al-Ghazaly tidak sependapat dengan adanya hukum Kausalita, sebab dan musabbab yang exact dan berkonsekuensi pasti.

“Api itu panas”. Ya, tapi itu tidak berlaku atas diri Nabi Ibrahim A.S. yang dibakar oleh raja Namrudz. Termasuk tidak berlaku di kalangan santri salaf yang main sepak bola api.

Seirama dengan Kuhn adalah Karl Raimund Popper (1994), ilmuwan Inggris yang mengedepankan madzhab Falsifikasi. Hal demikian mengingatkan kita kepada teori naskh dalam pandangan ulama ushul fiqh atau qaul qadim dan qaul jadid al- Syafi’ie, meskipun di kalangan ashabnya bersilang pandang : “ apakah al-qaul al- jadid itu serta merta menaskh al-qaul al-qadim..?”

Artinya, dalam bertafsir ilmy itu hendaknya ilmuwan tidak menggagahi dan tidak memutlakkan makna sebuah ayat sesuai temuan ilmu atau tehnologi. Hal demikian karena sangat mungkin ke depan terjadi perubahan dan adanya temuan baru sehingga menyisakan kesan, yang salah siapa : Mufassirnya atau al- Qur’annya?

Yang dianjurkan oleh para ahli adalah, ngerumangsani, mengakui keterbatasan diri sebagai manusia di hadapan luasnya kalam Tuhan. “..ala hasab al-thaqah al- basyariah”. Mufassir dituntut berkata demikian :”.. hanya inilah yang aku bisa. Sampai hari ini, tafsir ayat ini demikian, sesuai dengan temuan ilmu dan tehnologi, selanjutnya: allah a’lam”.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video