​Sumamburat: Santri di Garis Tepi | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

​Sumamburat: Santri di Garis Tepi

Editor: Redaksi
Wartawan: --
Selasa, 23 Oktober 2018 18:12 WIB

Dr H Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

GEMA Peringatan III, 22 Oktober 2018 mengiangkan lantun doa dan pengharapan untuk bangsa. Helatannya semakin membuncahkan semangat juang dalam kelambu Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang mengkristalisasi ghirah umat yang amat heroik. Kepahlawanan itu menjadi sangat mistis dengan kobaran revolusioner dari jiwa rakyat yang terpanggil imannya. Mempertahankan negara yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 sebagai ladang pengembangan Islam ternarasikan secara gamblang dalam Resolusi Jihad, hingga siapa pun yang memiliki nada dasar tauhid atasnya niscaya serentak meneriakkan takbir: Allahuakbar. Resolusi Jihad menjadi solusi kebangsaan dan keumatan yang mampu menyelamatkan Republik ini dari invasi Belanda yang memboncengkan dirinya dalam “gerombolan kolonialisme” NICA. Revolusi 10 November 1945 pecah.

Dari sini, ikhtiar santri tiada henti, tiada pernah lelah dan tiada kenal jengah untuk Indonesia. Peringatan Hari Santri pun merupakan penegasan sikap negara atas peran besar santri dalam mengawal sekaligus menuntun perjalanan setiap anak negeri. Bersama santri dipastikan negeri ini terbasuh dari segala najisnya. Santri menjaga dengan mengitari agar setiap “pembatalan” bernegara langsung “diwudukan” agar kesucian NKRI tetaplah abadi secara insani. Santri tampil dengan kesederhanaannya tetapi memantapkan langkahnya. Berjuta-juta santri memadati setiap jengkal areal untuk mengenang bahwa pada hari santri ini musti ada deburan martabat yang didarmakan bagi NKRI.

Semua eleman pada perkembangannya terpusatkan perhatiannya ke arah santri. Kaum bersarung dan berkopiah ini tampil mengesankan. Upacara digelar di kantor-kantor pemerintahan sambil menengadahkan mimpi bahwa santri memanglah sedemikian bermaknanya. Hanya saja adakah mereka jujur untuk bersantri sambil mengenakan sarung dan berpeci berikut melantunkan shalawat sebagai penanda bahwa dia memang santri. Tampaknya perlu terus membiasakan diri di mana santri menjadi entitas yang melekat pada negara. Kaum berpeci yang menyeimbangkan sabetan sarungnya itu ternyata menggeliatkan perekonomian yang sejatinya tumbuh menggurita. Pabrik-pabrik sarung, kerudung, kopiah dan sajadah ataupun kafiyeh yang tersematkan dalam dirinya pastilah menggulirkan gelombang pendapatan tidak terkatakan.

Pabrik itu untung dan semua tiada hendak buntung sebagai tanda terima kasih atas keputusannya. Maka dipilihlah sesepuh santri untuk mendampinginya dalam pesta perpolitikan. Singgasana “pernikahan demokrasi” antara “nenek moyang” santri dengan “pemilik kursi” yang selama ini merenggangkan elegi itu disorong terus berangkulan agar hajatan sejuta pelantun pun semarak diunggah membentuk formasi yang megelu-elukannya. Santri terjahit menjadi identitas dan untuk itu tidak segan-segan mereka yang kini sedang men-caleg-kan dirinya harus berkopiah dan bersarung sekaligus bersurban memasuki pesantren-pesantren serta memberikan bantuan tanda silaturahmi yang “mbarokahi”. Padahal dia tidak beragama Islam. Ciri dasar pada mulanya santri itu tauhidnya adalah penanda keislamannya, tetapi lama-lama melumer “sekolam” kerumunan asal sarungan nan kopiahan. Tampaknya identitas santri “dipetik” sekadar luaran meski isinya jelas-jelas “menjauhkan” arti historisnya.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video