​Capim KPK Unsur Polisi Dianggap Bermasalah, Pansel KPK Dinilai Buruk | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

​Capim KPK Unsur Polisi Dianggap Bermasalah, Pansel KPK Dinilai Buruk

Editor: Tim
Rabu, 17 Juli 2019 06:37 WIB

foto: wikipedia

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Sorotan terhadap Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi () kian tajam, terutama dari unsur kepolisian. Maklum, terdapat 13 orang polisi lolos seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim ). Para aktivis anti korupsi pun kecewa. Alasannya, itu didirikan karena kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum tak mampu memberantas korupsi. Sekarang mereka kok malah berebut masuk .

"Yang utama berdiri memang untuk membersihkan penegak hukum. Artinya apa? Undang-Undang ini mengatakan ada persoalan penegak hukum, baik di tingkat kepolisian atau kejaksaan," kata Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati di Gedung YLBHI, Jakarta, Selasa (16/7/2019).

Senada dengan Asfinawati, Ketua LBH Jakarta Arif Maulana menyayangkan banyak pendaftar dengan rekam jejak bermasalah lolos seleksi awal Capim . "Ketika panselnya buruk, tidak kredibel, apakah mungkin akan melahirkan calon-calon terbaik? Apalagi kalau kita melihat tantangan hari ini," kata Arif seperti dikutip CNN Indonesia.

Dia juga mengkritik komposisi Tim Pansel Capim yang dipilih Presiden Joko Widodo. Menurut dia, keputusan Jokowi dalam memilih anggota pansel tidak menunjukkan komitmen menyelesaikan persoalan di . "Saya menilai pemerintahan hari ini tidak memiliki komitmen yang cukup kuat untuk memberantas korupsi, terlihat dari bagaimana pemerintah menyikapi persoalan yang ada di ," kata Arif.

Gerah dengan hasil seleksi sementara Pansel , para pegiat anti korupsi itu kini membangun koalisi yang dinamakan Koalisi Kawal Calon Pimpinan . Koalisi Kawal Capim beranggotakan sejumlah LSM seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), YLBHI, KontraS, LBH Jakarta. Koalisi ini secara terbuka minta masukan kepada masyarakat terkait capim yang dianggap bermasalah.

Mereka bahkan secara terang-terangan meminta Pansel menelusuri secara menyeluruh rekam jejak para pendaftar pimpinan yang sudah lolos administrasi, khususnya Irjen Firli Bahuri

"Kita menganggap bahwa dengan lolosnya yang bersangkutan (Irjen Firli) dalam seleksi admin, mungkin bisa dikatakan bahwa administrasinya sudah baik. Tapi ke depan jika ada pencarian rekam jejak dari Pansel dan ada masukan-masukan dari masyarakat, harapannya masukan ini dapat ditelaah lebih lanjut oleh Pansel," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhan di kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (16/7).

Kurnia menjelaskan Pansel harus menggali rekam jejak para capim dengan serius. Jika ada rekam jejak pelanggaran, Pansel disebutnya bisa menjadikan itu sebagai dasar untuk mengeliminasi yang bersangkutan. "Bahkan Pansel seharusnya mendatangi , menanyakan dugaan pelanggaran etik apa yang sebenarnya dilakukan oleh Irjen Firli," ujar dia.

"Dan jika memang ada dugaan pelanggaran etik, maka sudah seharusnya dan saya yakin publik sepakat, bahwa yang bersangkutan tidak bisa diloloskan untuk tahapan seleksi selanjutnya," tegas dia. 

Irjen Firli adalah anggota yang mendaftar capim . Dia juga sempat menjabat sebagai Deputi Penindakan . Total, ada 13 anggota dari yang mendaftar capim dan lolos seleksi administrasi.

Nama Firli menjadi sorotan karena diduga pernah melakukan pelanggaran etik lantaran bertemu dengan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi saat masih menjabat Gubernur Nusa Tenggara Barat pada Mei 2018. Saat itu lembaga antirasuah itu tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi terkait divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NTT), kini bernama PT Amman Mineral Nusa Tenggara.

Kasus itu terjadi saat Firli menjabat Deputi Penindakan. Baru-baru ini, Firli ditarik kembali ke institusi asalnya, , dan dipromosikan sebagai Kapolda Sumatera Selatan.

Calon pimpinan dari unsur kepolisian memang paling banyak disorot. Apalagi dalam kasus Novel Baswedan nama Antam Novambar, salah satu capim , juga disebut. Seperti dilansir Tempo, di tengah pemeriksaan, anggota tim, Ifdhal Kasim mengancik ke topik di luar penyiraman air keras. Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden itu meminta Novel menjelaskan penangkapan tiga penyidik di kawasan Harco, Mangga Dua, Jakarta Utara pada 22 Februari 2016. Sejumlah sumber Tempo menyatakan Ifdhal menyebut nama Antam Novambar saat menanyakan peristiwa itu.

Ketiga pegawai yang ditangkap adalah Darman, Bagoes Purnomo, dan Waldy Gigantika. Mereka ditangkap polisi saat mengintai rencana penyerahan uang menyangkut megaproyek di Jakarta Utara.

Ketiga personel mengintai di bawah jembatan penyeberangan yang menghubungkan pusat belanja ITC Mangga Dua dengan kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat). Sebelumnya, radar menangkap sinyal bahwa di sekitar jembatan itu akan terjadi transaksi suap.

Kehadiran tim di sekitar Samsat, sebut Tempo, rupanya membuat resah sebagian polisi. Kepolisian membentuk tim beranggotakan Densus 88, Brigade Mobil, reserse dan Propam untuk mengintai balik pergerakan regu . Tim dadakan ini diduga dikomandoi Antam yang kala itu menjabat Direktur Narkoba Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Ketika hubungan dan sedang panas-dingin akibat penetapan tersangka Budi Gunawan, Antam termasuk perwira polisi yang terlibat pusaran konflik.

Tak lama setelah penyergapan, beredar rumor bahwa salah seorang pegawai positif menggunakan narkoba. Namun pemeriksaan urine ini dianggap janggal, sampai-sampai pimpinan menyuruh anak buahnya melakukan tes ulang. Hasilnya negatif. Akibat penangkapan ini rencana operasi senyap buyar.

Wakil Ketua Laode M. Syarif kala itu menengarai target operasi sudah menyadari sedang diintai lembaganya. Meski target operasi meleset, pimpinan emoh memperpanjang kasus ‘tangkap-lepas’ ini.

“Jangan sampai hubungan - kembali terpuruk,” kata Ketua , Agus Rahardjo kala itu.

Dugaan keterlibatan Antam dalam penggerebekan itulah yang ditanyakan Ifdhal kepada Novel. Hendardi, salah satu anggota TGPF juga sempat bertanya kepada Novel soal dugaan keterlibatan Antam dalam kasus penangkapan di Harco, Mangga Dua.

Sebelumnya, pengacara Novel Baswedan, Arief Maulana juga mencatat pertanyaan soal dugaan keterlibatan polisi menggagalkan operasi tangkap tangan di Jakarta Utara pada 2016. “Dia terkait dengan dugaan penggagalan OTT di kasus reklamasi,” kata Arief.

Arief menolak menyebutkan nama polisi itu, begitupun anggota tim gabungan. Sumber Tempo yang mengetahui proses pemeriksaan menyebut nama yang ditanyai tim gabungan adalah Inspektur Jenderal Antam Novambar. Pria yang kini menjabat Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal itu belakangan lolos tahap administrasi dalam seleksi calon pimpinan periode 2019-2023. (tim)

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video