Anti Korupsi atau Antri Korupsi? Refleksi 22 Tahun Reformasi
Editor: MMA
Rabu, 20 Mei 2020 12:44 WIB
Keesokan harinya, tanggal 21 Mei 1998, Presiden Suharto mundur dan era reformasi dimulai. Agenda-agenda gerakan reformasipun mulai dijalankan satu per satu, diawali dengan ABRI, bukan hanya Dwifungsi ABRI yang dihentikan, bahkan organisasi ABRI-pun dibubarkan, dipecah menjadi TNI dan POLRI. Saya jadi teringat skripsi saya harus mundur lama sekali karena judulnya membuat dosen penguji ketakutan. Judul skripsi saya waktu itu adalah Reposisi dan Reorganisasi ABRI dalam perspektif yuridis. Judul diajukan sebelum ABRI bubar namun diuji setelah ABRI bubar.
Agenda berikutnya adalah penerapan Otonomi Daerah seluas-luasnya melalui UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, disusul dengan amandemen UUD 1945 terutama pasal 7, di mana periode kekuasaan Presiden diubah dari tak terbatas menjadi terbatas. Amandemen pertama terhadap UUD 1945 tersebut dilakukan dalam Sidang Umum MPR RI bulan Oktober 1999.
KKN SEMAKIN PARAH
Alhamdulillah sebagian agenda gerakan reformasi telah terlaksana, walaupun kita harus kecewa karena sebagian yang lain tidak pernah terlaksana. Bahkan bukan hanya tidak terlaksana, namun justeru semakin parah.
Agenda yang belum terlaksana tersebut antara lain pengadilan terhadap kroni-kroni Soeharto, supremasi hukum dan tata kelola pemerintahan yang bersih dari KKN.
Kroni-kroni Soeharto bergerak cepat menyusup ke dalam elemen-elemen pro reformasi sehingga mereka lolos dari proses hokum. Mereka berganti baju menjadi elit politik era reformasi, bahkan menjadi bagian dari parpol-parpol produk reformasi. Supremasi hukum masih menjadi mimpi indah di bumi NKRI hingga saat ini dan KKN justeru semakin berjaya dan menggurita di era reformasi.
Satu per satu pejuang reformasi 98 menjadi elit politik baru, pengganti para elit politik Orde Baru. Ada yang menjadi anggota parlemen, menteri, kepala daerah dan lain-lain. Namun publik melihat bahwa hanya pos jabatannya yang ganti kepala, namun kelakuan jauh lebih parah daripada para pejabat Orde Baru, baik yang tidak tersentuh hukum maupun yang sudah terciduk oleh hukum.
Sampai di sini publik bertanya-tanya, lha kalian dulu itu (tahun 1998) anti korupsi apa antri korupsi?
GARDA REFORMASI?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut di atas tentu saja beraneka ragam. Ada elit politik yang menjawab, "Kami dulu betul-betul anti korupsi, namun setelah menduduki jabatan publik kok ternyata korupsi itu enak". Ada juga elit politik yang menjawab, "Kami sejak dulu sebetulnya memang antri korupsi dengan cara pura-pura anti korupsi", dan ada juga yang menjawab, "Kalian jangan ngawur, saya tetap lurus dan jujur sebagaimana idealisme saya tahun 1998 lalu".
Sebetulnya semua ini terjadi karena begitu Soeharto mundur dari jabatan Presiden RI, para pejuang reformasi langsung bubar barisan, tidak membentuk sebuah garda pengawal agenda reformasi. Andai kita belajar dari Republik Islam Iran, begitu Revolusi Islam berhasil menggulingkan pemerintahan boneka Amerika Serikat pada tahun 1978, para tokoh revolusi langsung membentuk Garda Revolusi untuk memastikan semua agenda Revolusi terlaksana dengan baik dan tuntas.
Gerakan Reformasi Indonesia tahun 1998 tidak melahirkan garda pengawal reformasi sehingga hingga detik ini masih tersisa agenda besar reformasi yang belum terlaksana. Sementara pembentukan Garda Reformasi saat ini sudah tidak relevan. Momentumnya sudah lewat. Satu-satunya jalan untuk menuntaskan agenda reformasi 1998 adalah Aksi Reformasi Jilid II dengan tuntutan :
1. Revitalisasi KPK;
2. Peningkatan kapasitas Komisi ASN dan Kompolnas dalam rangka pemberantasan KKN di dalam tubuh aparatur sipil khusus (kepolisian) dan aparatur sipil negara (ASN);
3. Resentralisasi urusan kepegawaian Nasional;
4. Pembentukan Komisi Militer Nasional dalam rangka pemberantasan KKN di tubuh militer.
Bahkan kalau perlu otonomi daerah dievaluasi karena ada indikasi bahwa otonomi daerah saat ini identik dengan otonomi KKN.
Penulis adalah salah satu pimpinan kesatuan aksi reformasi 1998