JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Inilah peringatan R William Liddle, pengamat politik tentang Indonesia, terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut profesor emeritus Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat itu bahaya jika Presiden Jokowi memaksakan tiga periode.
“Bahaya yang dihadapi demokrasi Indonesia kini begitu nyata dan solusinya juga begitu terang. Kepastian dua masa jabatan presiden dan pengadaan pemilihan nasional setiap lima tahun perlu dipertahankan,” tulis R William Liddle dilansir Kompas.id pagi ini, Senin (4/4/2022).
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Menurut Liddle, Presiden Jokowi sedang menggalang kekuatan politik agar sidang MPR diselenggarakan dan konstitusi diamendemen demi perpanjangan masa jabatannya.
Liddle berkesimpulan seperti itu karena menyaksikan manuver politik Luhut Binsar Pandjaitan dan A Muhaimin Iskandar.
“Perencanaan presiden mulai terungkap akhir Februari ketika Muhaimin Iskandar dari PKB, Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, dan Zulkifli Hasan dari PAN mengusulkan penundaan Pemilu dan Pilpres 2024 agar kekuasaan Presiden Jokowi bisa diperpanjang,” tulis William Liddle.
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
(Luhut Binsar Pandjaitan. Foto: Setkab)
Ia kemudian mengutip berita CNN. Menurut dia, tokoh pemerintah yang menghubungi pemimpin-pemimpin partai dengan permintaan tersebut adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
(Presiden Joko Widodo. Foto: twitter)
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
Menurut Liddle, ketika Jokowi diwawancarai Kompas TV pada 5 Maret, ia mengaku bahwa ”siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan dan perpanjangan (masa jabatan presiden).”
Liddle menafsirkan bahwa dengan pernyataan itu berarti Jokowi setuju dengan usaha Menko Luhut, para menteri, dan pemimpin-pemimpin partai yang ingin mengubah konstitusi demi perpanjangan masa jabatannya.
“Setelah itu, hampir setiap hari ada pernyataan dari Luhut, menteri lain, atau Jokowi sendiri yang memperkuat kesimpulan itu,” tulis William Liddle.
Baca Juga: Di Penghujung Jabatan Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Gebuki Mafia Tanah
(A Muhaimin Iskandar. Foto: CNN)
Ia kemudian mengusulkan agar Jokowi meniru sikap arif dan kenegarawanan Presiden BJ Habibie. “Kalau boleh saya usulkan, sebaiknya kita kembali ke kearifan atau hikmah Presiden BJ Habibie (BJH), presiden demokratis pertama dalam era Reformasi,” tulisnya kemudian.
“Mengapa saya sebutkan demokratis? Beliau adalah presiden pertama dalam sejarah Indonesia merdeka yang menyerahkan nasib politiknya kepada suara rakyat,” lanjut Liddle.
Baca Juga: Khofifah Kembali Dinobatkan sebagai 500 Muslim Berpengaruh Dunia 2025
Menurut Liddle, setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR hasil pemilu demokratis 1999, BJ Habibie langsung menarik kembali pencalonannya untuk masa jabatan 1999-2004.
Penarikan kembali itu dilakukan dengan penuh kesadaran atas posisi historisnya. Pada 7 September 1998, baru beberapa bulan setelah disumpah selaku presiden ketiga RI, ia diwawancarai oleh Forum Keadilan (FK), majalah dua-mingguan yang peliputan politiknya salah satu yang paling tepercaya waktu itu. Kepala berita: ”Presiden Republik Indonesia BJ Habibie: Saya Tak Ingin Berakhir dengan Tragedi”.
Wiiliam Liddle kemudian menurunkan petikan wawancara Presiden BJ Habibie (BJH) dengan Majalah Forum Keadilan (FK).
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Hadiri Upacara HUT ke-79 TNI
FK: Apakah dalam kondisi perekonomian begini kita mampu mengejar cita-cita masyarakat madani? [Visi religious civil society Habibie, yang mengandung nilai ”moral dan spiritual dari agama apa pun,” selain kesejahteraan dan demokrasi.]
BJH: Saya percaya bangsa kita mampu…. Sekarang tinggal membuat sistemnya, yaitu sistem perundang-undangan, peraturan, mekanisme, dan sistem pendidikan.
FK: Tapi, kan untuk mencapai semua itu harus ada stabilitas dulu….
Baca Juga: Bansos Beras Diharapkan Lanjut, Presiden Jokowi Janji Akan Bisiki Prabowo
BJH: Stabilitas terjadi dengan sendirinya jika sudah ada transparansi, demokrasi, dan kesejahteraan. Dalam hal ini pendekatan saya adalah bottom-up (dari bawah ke atas). Bukan top-down. Kalau masyarakat madani sudah terjadi, akan lahir stabilitas yang mandiri, abadi, dan tidak bergantung pada perorangan.
Orang-orang selalu mengatakan Habibie adalah presiden yang sangat lemah. Begitu toh? Kalau saya dibandingkan dengan presiden pertama dan kedua, yang sama-sama menganut pendekatan keamanan, top-down, ya jelas dong, saya tampak lemah. Tapi, dalam top-down, yang terjadi adalah sistem komando. Semua berdasarkan perintah dari atas. ”Tok! Kalau enggak, saya tangkap, lo.”
Memang, dengan cara itu, seorang pemimpin kelihatan kuat. Tapi, sebenarnya, orang yang bertindak begitu adalah lemah. Ia terlihat kuat, tapi itu semu. Oleh sebab itu, pemerintah yang top-down, yang terlihat kuat itu, selalu berakhir dengan tragedi. Awalnya dia kelihatan kuat, tapi begitu dia tidak mampu lagi menahan semuanya, maka serentak ”prak!” Dia jatuh. Kita sudah dua kali mengalami tragedi.
Baca Juga: Bersama Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Peroleh Brevet Kehormatan Hiu
Peralihan dari presiden pertama ke presiden kedua terjadi tragedi. Begitu juga dari presiden kedua ke presiden ketiga. Tapi, saya tidak ingin era saya berakhir dengan tragedi.
FK: Caranya?
BJH: Saya memulai era saya dengan era Kebangkitan Demokrasi. Saya ingin mengawalinya dengan era kristalisasi masyarakat madani. Nah, katakanlah SU MPR pada Desember 1999. Saat itu, bagi saya hanya dua option, dua pilihan. Pertama, saya tidak terpilih lagi. Berarti era saya berakhir.
Option kedua, saya diminta dengan hormat untuk meneruskan kepemimpinan satu periode lagi. Berarti itu adalah masa jabatan saya yang terakhir. Setelah itu saya tidak bisa dipilih lagi. Karena saya akan memperjuangkan dan mengeluarkan ketentuan yang akan kita jadikan Ketetapan MPR bahwa tiap presiden dan wakilnya hanya boleh dua masa jabatan.
FK: Anda setuju ada pembatasan begitu?
BJH: Iya, arah kita ke situ…. Bagi saya, itu adalah awal dari suatu tradisi peralihan kekuasaan yang tidak tragis. Mengerti, toh? Tapi kalau pada Desember 1999 rakyat menghendaki saya maju lagi, berarti itu adalah periode kedua, sekaligus terakhir bagi saya. Dengan kepastian masa jabatan presiden, kalau era saya berakhir, kan enggak ada ribut-ribut lagi. Buat apa kita ribut-ribut ganti presiden? (mma)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News