Hadiri Pelatihan Guru, Kepala Bakesbangpol Sidoarjo Ungkap Pemicu Intoleransi

Hadiri Pelatihan Guru, Kepala Bakesbangpol Sidoarjo Ungkap Pemicu Intoleransi Kepala Bakesbangpol Sidoarjo, Mustain Baladan, saat memberi pemaparan di acara yang digelar BrangWetan. Foto: Ist

Karena itu perlu pembatasan penggunaan kata-kata yang menimbulkan konotasi negatif atau rejection, misalnya radikalisme, intoleransi, dan lain-lain.

Pengalaman Harmoni bekerjasama dengan 93 sekolah di Sragen, menggunakan tema “membangun rasa percaya diri” karena kalau mereka sudah memiliki rasa percaya diri yang tinggi maka tidak gampang diajak nakal oleh kelompok manapun.

Menurut Alto, ada teori yang menyebutkan mengapa seorang itu menjadi pelaku teror, yaitu tiga N,: Needs (kebutuhan), Narasi (teks), dan Networking (jaringan). Mereka yang menjadi teroris karena kebutuhannya (needs) tidak tercapai.

Dia merasa teralienasi di masyarakat. Merasa dirinya tidak signifikan, dianggap tidak ada di masyarakat. Hal ini tidak berhubungan dengan satu faktor, misalnya ekonomi. Karena terbukti para pelaku teror selama ini sebagian justru berasal dari kalangan mampu dan inteletual.

Kebutuhan ini juga menyangkut respon dari masyarakat yang berkurang atau hilang terhadap apa yang disuarakan melalui media sosial.

Untuk mencukupi kebutuhan itu mereka membutuhkan teks atau narasi untuk menguatkan pembiasaan di masyarakat. Mereka yang melakukan teror selalu berada dalam jaringan (network), baik jaringan nyata di antara teman-temannya maupun jaringan di dunia maya atau media sosial.

Karena itu dalam training ini diajarkan seperti apa pesan-pesan yang akan dibuat agar orang yang membacanya sudah merasa signifikan, sehingga kebutuhan untuk mencari narasi yang membenarkan untuk melakukan tindakan-tindakan intoleran menjadi minimum.

Seperti halnya anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian di rumahnya akan cenderung menjadi anak nakal di sekolah untuk menjadi signifikan di antara teman-temannya.

Tidak ada gunanya “perang ayat” tetapi yang penting adalah “perang pemasaran”, apakah yang kita ajarkan mampu diikuti oleh siswa ataukah mereka justru lebih tertarik dengan yang diajarkan mereka.

Sementara itu, Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan, Henri Nurcahyo, memaparkan persoalan toleransi bukan hal yang baru. Toleransi adalah suatu hal yang sudah kita ketahui sejak lama dalam keseharian namun kadang-kadang tidak disadari.

Maka pelatihan soal toleransi bukanlah mengajarkan sesuatu yang sama sekali baru melainkan bagaimana memahami apa yang sudah kita ketahui untuk disadari, dan yang paling penting adalah eksekusi.

Dalam training ini yang menjadi narasumber adalah Dr. Herni Ferisia dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr Hj. Sutiah, M.Pd (UIN MALIKI Malang), dan Dewantoro dari Harmoni Jakarta. 

Training ini diikuti 25 peserta guru dari lima sekolah yaitu SMAN 1 Gedangan, MAN Nurul Huda Sedati, dan 3 SMPN 1 dari Waru, Taman dan Gedangan. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian program BrangWetan selama satu tahun yaitu “Cinta Budaya Cinta Tanah Air Tahap Dua” yang berlangsung hingga pertengahan tahun depan.(sta/mar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Kecelakaan Karambol di Medaeng Sidoarjo, Truk Tabrak Tiga Mobil Hingga Terguling':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO