Gagal "Ngopi Bareng", Menlu Rusia Walk Out dari Pertemuan Menlu G20 Bali

Gagal "Ngopi Bareng", Menlu Rusia Walk Out dari Pertemuan Menlu G20 Bali Dahlan Iskan. Foto: ist

DENPASAR, BANGSAONLINE.com Indonesia kembali gagal menengahi perseteruan Rusia dan negara-negara Barat. Terutama AS. Sergey Lavrov walk out dalam pertemuan Menlu G20 Nusa Dua . Tapi benarkah negara-negara Barat tak bisa mengalahkan Rusia?

Nah, tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA pagi ini, Senin (11/7/2022) menjawab pertanyaan itu. Anda juga bisa baca tulisan itu di BANGSAONLINE.com di bawah ini. Selamat membaca: (PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE.com)

Baca Juga: Batu Shining Orchid Week 2024, Bikin Kota Batu Jadi Perhatian Pecinta Anggrek Tanah Air

SKORNYA berubah dari 20-1 menjadi 19-0. Akhirnya terjadilah yang kita harapkan tidak terjadi: walk out. Sergey Lavrov meninggalkan ruangan. Pertemuan Menlu G20 di Hotel Mulia, Nusa Dua, , Kamis lalu itu pun menjadi monoton.

Indonesia sebenarnya realistis. Tidak harus mencapai kesepakatan. Terlalu sulit. Yang penting, jangan sampai ada yang walk out. Harapan minimal itu pun tidak bisa terpenuhi.

Ada filosofi mendasar mengenai sikap negara-negara Barat seperti itu: perfect. Filsafat itu digambarkan dengan sangat baik oleh Prof Kishore Mahbubani dari Singapura. Di mata Barat, segala sesuatu itu harus perfect. ”Baik” belum cukup bagi Barat. Harus ”perfect”.

Baca Juga: RA Summit 2024, Perkuat Sinergi dan Kolaborasi demi Perjalanan Reforma Agraria di Indonesia

”Akhirnya ’perfect’ menjadi musuh bagi ’baik’,” tulisnya dalam sebuah artikel menjelang pertemuan itu.

”Perfect” yang dimaksud Barat kelihatannya adalah: Rusia harus kalah, menghentikan perang, mundur dari Ukraina, NATO terus diperluas sampai Ukraina, Swedia, Finlandia.

”Good” adalah gencatan senjata, harga energi turun, pabrik pupuk bisa berproduksi, petani kembali menghasilkan bahan pangan, dan dunia tidak terancam kelaparan.

Baca Juga: Kementerian ATR BPN akan Gelar Reforma Agraria Summit 2024

”Bad” adalah perang berkelanjutan –apalagi dengan irama slow seperti sekarang ini.

”Worst” adalah perang nuklir.

Mungkin memang sulit bagi Barat untuk belajar menjalani hidup yang tidak sempurna. Kita bersyukur sudah terbiasa menjalani yang serbakurang: makan sekadarnya, naik kendaraan umum apa yang tersedia, dan bisa menerima suami apa adanya. Sampai mati sendiri.

Baca Juga: Kota Kediri Jadi Salah Satu dari 4 Daerah Luar Bali yang Ikuti World Water Forum 2024

Pertanyaannyi –meminjam istilah pelawak Tukul Arwana– ”Kalau memang Barat mau perfect seperti itu, mengapa tidak serius mengalahkan Rusia,” kata Mahbubani.

Cak Lontong pun tidak berhak menjawab itu. Mahbubani sendiri yang menjawab, ”Itu tidak mungkin.”

Kalau itu dilakukan, yang terjadi adalah seperti yang digambarkan di sebuah lagu dangdut yang akan datang: ”the perfect yang dikejar, the worst yang didapat”.

Baca Juga: Ditpolairud Polda Jatim Kerahkan Personel di Beberapa Titik untuk Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Sebenarnya Barat pernah menerima ketidak-perfect-kan di masa yang tidak terlalu nan silam: Krimea. Barat membiarkan Krimea diduduki Rusia sejak 2014.

Apakah berarti Barat juga harus menerima dua provinsi bagian timur Ukraina merdeka?

Tidak harus begitu. Itulah perlunya perundingan. Kontak. Bertemu. Jangan walk out dan jangan membuat ada pihak yang walk out. Setidaknya belajarlah mulai mendengar. Terutama mendengar curhatan Indonesia dan India dan negara yang bukan anggota G20 seperti Sri Lanka.

Baca Juga: Antisipasi Lonjakan Pemudik, Jalur Mudik Bali-Kepulauan Raas Sumenep Segera Dibuka

Penduduk negara Barat itu, kata Mahbubani, jumlahnya hanya 18 persen. Selebihnya masih 82 persen. Apakah suara yang 82 persen itu tidak perlu didengar.

India, misalnya, sangat ingin didengar. Negara itu tidak cukup punya sumber energi. Lebih lagi Pakistan. India terpaksa impor minyak dari Rusia. Barat mengecam dan mempersalahkan India. Padahal itu, bagi India, menyangkut hidup dan mati 1,5 miliar manusia.

”Nilai migas yang kami impor dari Rusia itu, selama sebulan, hanya sama dengan impor Eropa dari Rusia satu petang,” ujar Menlu India.

Baca Juga: Kembangkan Program Puspa Aman, TP PKK Kabupaten Kediri Studi Tiru ke Kabupaten Gianyar

Berarti, Barat sendiri sebenarnya juga jadi korban. Bukan korban perang, melainkan korban sanksi yang mereka jatuhkan sendiri ke Rusia. Tentu korban perang juga. Tanpa serangan Rusia, sanksi itu tidak dikenakan. Kata Rusia: serangan itu tidak akan ada kalau Barat tidak memproses penerimaan Ukraina sebagai anggota NATO.

Kini inflasi di Barat gila-gilaan. Rakyat mereka mulai tidak puas –apalagi kalau perang berkepanjangan. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson terpaksa kehilangan jabatan. Mantan PM Jepang Shinzo Abe tewas ditembak di negeri yang begitu aman. Justru pemimpin di Timur yang sakti: Gotapala Rajapaksa di Sri Lanka itu.

Sebenarnya mau datang ke saja sudah maju. Demikian juga Menlu Amerika Serikat. Tapi, usaha untuk mempertemukan keduanya sambil ngopi-ngopi tidak berhasil. Akhirnya pertemuan itu sangat formal. Di ruang rapat. Panas di luar pun dibawa masuk. Tidak ada proses pendinginan emosi sebelum rapat formal dilakukan.

Baca Juga: Keindahan Spektakuler Angel’s Billabong Bali, Tanpa Tiket Masuk

Sampai pun di teras ruang pertemuan. Suhunya justru dinaikkan. Oleh wartawan. Atau oleh orang yang berada di kerumunan wartawan di depan teras itu.

Saat itu tuan rumah, Menlu Indonesia Retno Marsudi, menyambut semua tamu yang akan masuk ruang rapat. Giliran yang datang yang tinggi itu, teriakan datang dari kerumunan. Ketika siap menyalami tuan rumah, Lavrov sempat menengok ke teriakan tersebut. Dengan wajah tanpa senyum. Rupanya, ia langsung ingat tuan rumah yang sudah siap mengulurkan tangan tadi. Tidak ia tanggapi teriakan itu. Ia salami Retno. Lalu, masuk ruang rapat.

Retno menyayangkan teriakan tersebut. ”Harusnya ajukan saja pertanyaan waktu doorstop,” ujarnyi.

Saya pun mencari video di sekitar peristiwa itu. Saya ingin tahu: itu teriakan atau pertanyaan.

Kesimpulan saya: itu pertanyaan.

”Why did you start the war?” Hanya, nada kalimatnya memang seperti teriakan. Terutama ketika ia mengulangi pertanyaan itu untuk kali kedua. Nada tersebut ia turunkan kembali ketika mengulangi untuk kali ketiga.

Posisi kerumunan wartawan itu memang terlalu dekat. Seharusnya memang hanya wartawan foto yang diizinkan untuk di momen tersebut. Yang dilengkapi kamera berlensa tele. Wartawan tulis di momen berikutnya.

Saya jadi ingat peristiwa peliputan ulang tahun kembalinya Hong Kong ke Tiongkok 1 Juli lalu. Yakni, saat Presiden Xi Jinping tiba. Wartawan foto dilarang membawa payung. Padahal, lagi hujan. Tanpa alasan. Anda tahu kira-kira mengapa?

Agar jangan terlihat ada foto di media begitu banyak payung di depan Presiden Xi.

Anda sudah tahu artinya: jangan dikira ada demo. Simbol gerakan demo anti-Tiongkok di Hong Kong adalah payung.

Begitulah mengatur wartawan.

Momentum pertemuan para Menlu G20 pun berlalu. Pertemuan itu penting agar KTT G20 nanti sukses. Semua bahan dan putusan KTT dirumuskan para Menlu.

Kini waktunya tinggal 3,5 bulan. Waktu berjalan begitu cepat. Kemarin dulu hari raya Idul Adha. Besoknya sudah Idul Adha lagi. KTT G20 tinggal pertengahan November.

Amerika Serikat dan Rusia masih sama kerasnya. ”Kami melihat tidak ada gunanya bertemu dengan Menlu Lavrov selama Rusia masih menyerang Ukraina,” ujar juru bicara Menlu Blinken seperti dikutip berbagai media.

”Kami tidak mengejar siapa pun untuk mau mengadakan pertemuan,” ujar Lavrov.

Menlu Retno Marsudi wanita istimewa. Dia kuat menghadapi semua itu. Sulit, tapi siapa tahu masih bisa. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sekap WNA Ukraina, Lima Bule di Denpasar Mengaku Polisi Internasional':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO