JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Kebijakan Presiden Jokowi soal hilirisasi pertambangan, terutama nikel, yang selama ini dibangga-banggakan sebagai bekerhasilan pemerintah, ternyata justru menguntungkan Cina. Bukan rakyat Indonesia. Bahkan Cina mendapat 90 persen dari kebijakan Jokowi itu. Sementara Indonesia hanya dapat 10 persen.
Hal itu diungkapkan Faisal Basri, ekonom Universitas Indonesia (UI) yang dikenal sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Baca Juga: Alasan PDIP Pecat Jokowi dan Kelucuan Pidato Gibran Para-Para Kiai
"90 persennya lari ke China," kata Faisal Basri dalam seminar yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) di Jakarta Pusat, Selasa, 8 Agustus 2023.
Karuan saja berita ini menghebohkan. Sebab selama ini pemerintah dengan bangga selalu mengklaim bahwa kebijakan hilirisasi nikel merupakan suatu keberhasilan yang dicapai Presiden Jokowi.
Lalu bagaimana tanggapan pemerintah? Plt Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Mochamad Firman, yang juga hadir dalam acara itu membenarkan pernyataan Faisal Basri tersebut. Hanya saja, kata dia, meski 90 persen keuntungan dari hilirisasi mengalir ke Cina, sebelumnya pun ekspor dalam bentuk bijih nikel 90 persen dilakukan ke Cina.
Baca Juga: Sidang Restitusi, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Tuntut Rp17,5 M dan Tagih Janji Presiden
Secara tegas Faisal Basri mengatakan bahwa keuntungan yang dirasakan Indonesia atas regulasi yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi tersebut tak kurang dari 10 persen.
Menurut dia, kalau hilirisasi yang diterapkan sekadar mengolah bijih nikel menjadi NPI atau feronikel, sebagian besar keuntungannya akan tetap mengalir ke negeri ke Cina. Dari fakta itu ia menilai kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia nyatanya hanya mendukung industrialisasi di Cina.
Faisal menjelaskan 95 persen bijih nikel di Indonesia digunakan untuk perusahaan-perusahaan di Cina. Pada awalnya bijih nikel dibanderol dengan harga US$ 34 oleh pemerintah Indonesia. Padahal, menurut Faisal Basri, di Shanghai bijih nikel dijual dengan harga 80 dolar.
Baca Juga: Rocky Gerung Ajak Pemuda di Surabaya Kritis Memilih Pemimpin
Ekonom senior Indef itu pun mengkritik langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi beserta jajaran menterinya yang selalu menyuarakan keberhasilan hilirisasi nikel. Sebab ,menurut dia, yang banyak diekspor itu bukan dalam bentuk yang sudah diolah atau hasil hilirisasi.
Faisal sangat menyayangkan, Indonesia hanya memiliki kebijakan hilirisasi dan tak memiliki strategi industrialisasi. Padahal, tegas Faisal Basri, hanya industrialisasi yang mampu meningkatkan nilai tambah di dalam negeri serta memperkuat struktur industri dan perekonomian.
Sementara Plt Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Mochamad Firman mengatakan, meski 90 persen keuntungan dari hilirisasi mengalir ke Cina, ia mengatakan sebelumnya pun ekspor dalam bentuk bijih nikel 90 persen dilakukan ke Cina.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Menurut dia, ketika ekspor bijih nikel dilakukan, yang diekspor itu benar-benar berupa tanah dengan kandungan nikel nya yang kurang dari 2 persen.
"Jadi ketika kita bicara mengenai ekspor bijih nikel, kita bicara ekspor literally tanah air kita. Itu yang kita lakukan selama bertahun-tahun," kata Firman.
Firman membenarkan hanya 10 persen keuntungan dari kebijakan hilirisasi ini yang mengalir ke RI. Namun, ia kembali menekankan sebelum kebijakan hilirisasi, nilai atau value edit yang didapat Indonesia 0 persen atau tidak ada sama sekali. Dengan demikian, 100 persen nilainya diambil Cina.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Dengan melakukan hilirisasi, menurut Firman, nilai ekspor nikel Indonesia menjadi naik berkali lipat. Meskipun dahulu Indonesia mengekspor 6 juta ton bijih nikel, dia mengatakan nilainya hanya sekitar US$ 1,7 miliar. Sedangkan setelah hilirisasi, Firman mencatat nilai ekspor turunan nikel ini mencapai US $ 35,6 miliar atau sekitar 6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan hanya mengekspor bijih nikel.
"Memang benar juga Pak Faisal saat ini kita masih berfokus pada besi dan baja, tetapi peringkat ekspor besi dan baja kita mampu menempati peringkat 5 dunia," kata Firman. (Tempo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News