
SURABAYA,BANGSAONLINE.com - Anggota MPR RI dari unsur DPD RI Jawa Timur, Lia Istifhama menekankan pentingnya memandang keberlangsungan bangsa secara menyeluruh.
Yakni mulai dari pendidikan, demokrasi, hingga kesepakatan publik terkait arah pembangunan nasional.
Dalam pandangannya, perjuangan tidak selalu untuk hasil saat ini, melainkan untuk generasi mendatang.
Lia terinsiprasi dari RA Kartini. Ia menyebut perjuangan pendidikan untuk kaum perempuan yang dilakukan Kartini bukan untuk masanya sendiri, melainkan untuk generasi 10, 20, bahkan 30 tahun setelahnya.
"Itu yang saya tangkap, bagaimana ketika kita memiliki positioning sebagai keterwakilan rakyat, kita memahami hakikat demokrasi dan nilai musyawarah dalam Pancasila," kata Lia dalam acara diskusi Konsitusi dan Demokrasi Indonesia MPR RI, di Komplek Parlemen, Senayan, Rabu (13/8/2025).
Lia menyoroti dinamika isu publik yang kerap memunculkan pro dan kontra, termasuk pada kebijakan Presiden Prabowo Subianto.
Ia mengaitkannya dengan teori siklus disintegrasi bangsa dari Ibnu Khaldun, yang mengingatkan bahwa jika ketimpangan dan rasa termarjinalkan tidak dikelola, dapat memicu krisis kepercayaan antarmasyarakat maupun terhadap pemerintah.
Terkait wacana MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, Lia mengungkap respons beragam dari di ruang publik.
Namun, dirinya menyakini, wacana tersebut bukan sebuah ambisi politik, melainkan upaya menjaga keberlangsungan bangsa sesuai sejarah konstitusi nasional.
"Perubahan konstitusi bisa terjadi karena konsensus rakyat maupun mekanisme formal. Tantangannya adalah memberi edukasi publik agar memahami pentingnya kesepakatan bersama,” sebut senator yang juga novelis 'Berkisah Tentang Hati' ini.
Tidak hanya itu, Lia juga menyoroti pentingnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai panduan pembangunan jangka panjang, seraya menekankan perlunya generasi muda memahami istilah dan konsep politik agar merasa memiliki peran dalam demokrasi.
Karena itu, dirinya mendorong revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 untuk memberi penguatan pada ketetapan MPR, yang dinilainya lebih memiliki nilai eksternal dibanding pada tingkatan peraturan atau keputusan MPR.
Di akhir pernyataannya, Lia mengajak generasi muda melihat proses politik secara utuh, termasuk penerapan otonomi daerah yang berkeadilan antara pusat dan daerah.
"Jangan sampai keadilan hanya dirasakan di satu sisi, tapi di mata publik justru terlihat timpang. Generasi muda harus merasa menjadi bagian penting dalam kajian dan praktik demokrasi,” pungkas pencipta lagu bertema tani ini. (mdr/van)