Antara Habib NU dan Habib FPI

Antara Habib NU dan Habib FPI Firman Syah Ali. foto: ist

Oleh: Firman Syah Ali

Saat ini gelar Habib sedang populer di Indonesia karena beberapa peristiwa. Diantaranya Insiden Habib Umar Abdullah Assegaf Bangil dengan mobil sedan mewah Nopol N 1 B diduga melanggar peraturan pemerintah tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan menolak ditertibkan oleh petugas. Bahkan ia melakukan beberapa aksi dan ucapan yang kemudian memicu debat dengan petugas.

Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali

Viral insiden PSBB yang melibatkan Habib Umar Abdullah Assegaf Pasuruan ini terjadi hanya beberapa saat setelah insiden penangkapan Habib Ahmad Albar untuk kedua kalinya karena kasus Narkoba, yang juga menimpa kedua putera beliau, Habib Fachri Albar dan Habib Ozzy Albar.

Tidak kalah viral adalah peristiwa penangkapan kembali Habib Bahar Bin Smith oleh aparat karena melanggar hukum PSBB serta orasi menghasut, yang berujung pada penahanan beliau di Lapas Nusakambangan.

Memang tidak sedikit kalangan Habaib dan Syarifah yang berkecimpung di dunia enterteintmen, antara lain Syarifah Andi Soraya yang mengaku fam assegaf asal kalimantan, Syarifah Aqtiqoh Hasiholan Al-Hadi, puteri Ratna Sarumpaet yang terkenal dengan insiden tipu-tipu penganiayaan dalam pilpres 2019 lalu. Tidak kalah populer juga Syarifah Naysila Amir Al-Haddad yang disingkat Nana Mirdad, puteri artis gaek Habib Jamal Amir Al-Haddad yang kerap disingkat Jamal Mirdad.

Baca Juga: Muncul Narasi Pribumi Harus Bangkit dari Hegemoni Ba'alawy dan China, Siapa yang NKRI

Namun yang lebih populer dari semua Habib dan Syarifah di atas adalah Habib Muhammad Rizieq Shihab yang dijuluki sebagai Imam Besar Umat Islam oleh para Muhibbinnya. Habib ini terkenal malang melintang sejak berakhirnya Orde Baru karena terlibat dalam sejumlah aksi dan orasi yang kontroversial, misalnya seruan menyerbu Masjid Ahmadiyah, menghina fisik KH Abdurrahman Wahid, memimpin aksi 212, dugaan chatt mesum dan lain-lainnya yang berakhir dengan pengungsian beliau ke Arab Saudi dan hingga saat ini beliau belum berminat untuk kembali ke Indonesia.

Selain Habib Rizieq Shihab, saat ini rakyat indonesia terutama Nahdliyyin tidak asing dengan nama besar Habib Luthfi Bin Yahya Pekalongan, tokoh thariqat dan muslim moderat yang sangat dihormati oleh Nahdliyyin.

Untuk lebih lengkapnya, berikut daftar nama Habib dan Syarifah yang terkenal di Indonesia :

Baca Juga: Habib Rizieq Senang Dua Buaya dan Setan Berkelahi: Ini Rezeki dari Allah

1. Habib Quraish Shihab, ulama tafsir;

2. Syarifah Najwa Shihab, presenter;

3. Habib Alwi Abdurrahman Shihab, Menko Kesra RI 2004-2005 dan Menteri Luar Negeri RI 1999-2001;

Baca Juga: Ratusan Relawan Ndaru Se-eks Karesidenan Kediri Deklarasi Dukung Prabowo-Gibran

4. Habib Ali Alatas, Menteri Luar Negeri RI 1988-1999;

5. Habib Hamid Al-Qadri, penemu lambang negara RI Garuda Pancasila;

6. Habib Muhammad Husein Mutahar, Pj Sekjen Departemen Luar Negeri RI 1974, pencipta hymne syukur dan hymne pramuka, pencipta Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka RI);

Baca Juga: Simpatisan Habib Lutfi Deklarasikan Relawan untuk Menangkan Prabowo-Gibran

7. Habib Utsman Bin Yahya, Mufti Betawi Pemerintahan Hindia-Belanda;

8. Habib Mundzir Al-Musawwa, pendiri Majelis Rasulullah;

9. Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf, pendiri Majelis Sholawat Ahbabul Musthofa;

Baca Juga: Ponpes Nurul Taqwa Bondowoso Gelar Istighosah Kubro, 40 Ribu Jemaah Dapatkan Ijazah Hizib Bahr

10. Syarifah Arumi Bachsin, artis sekaligus isteri Wakil Gubernur Jatim Dr H Emil Elistianto Dardak.

SEJARAH AWAL

Sejarah gelar Habib dan Syarifah tidak berawal dari bumi indonesia, tapi berawal dari bumi leluhur walisongo yaitu Hadramaut Yaman. Gelar Habib dan Syarifah lahir di sana, kemudian berkembang di pantai Afrika timur dan Hindia Belanda, namun tidak ada satupun sumber sejarah otoritatif yang menyebutkan kapan gelar ini pertama kali digunakan di Hadramaut dan siapa yang pertama kali menggunakannya, karena para keturunan Fathimah Az-zahra ra di Hadramaut sebelumnya bergelar Sayyid dan Syarif, dan sebelum itu mereka bergelar Imam.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Leluhur para Habib dan Syarifah Indonesia adalah Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir I. Beliau lahir kira-kira tahun 873 di Basrah Irak, pada masa kekuasaan Khalifah Al-Mu'tamid dari Dinasti Abbasiyah. Pada saat Imam Ahmad bin Isa dilahirkan, Kota Bashrah sedang dikuasi oleh Kaum Zanj, yaitu kaum budak afrika yang memberontak terhadap Dinasti Abbasiyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah, pemerintah banyak memiliki divisi budak dari berbagai etnis, seperti Turki, Kurdi, India, China dan Afrika (Zanj). Budak-budak dari Turki kemudian menduduki strata tertinggi setelah mereka berhasil masuk dan mengendalikan sepenuhnya istana Khalifah. Adapun Zanj, menempati strata terendah.

Kehidupan Imam Al-Muhajir I semenjak muda hingga dewasa diwarnai dengan guncangan-guncangan sosial politik di Bashrah secara khusus dan di seluruh wilayah negara Abbasiyah secara umum, mulai dari revolusi negro tahun 225 hingga revolusi Syi'ah Ismailiyah Qaramithah, sebuah sekte syiah yang dipimpin oleh Yahya bin Mahdi di Bahrain, dia dengan para pengikutnya bekerja keras untuk membiuskan paham-pahamnya ke semua lapisan masyarakat dan menggunakan situasi guncang akibat revolusi negro dan fitnah Khawarij untuk memepercepat pertumbuhan dan perkembangan mereka.

Syiah Ismailiyah Qaramithah (Sekte 7 Imam) adalah penguasa Arabia Timur sejak tahun 1899 dengan Ibukota Al- Hasa Bahrain. Mereka satu sekte dengan Dinasti Fathimiyah Mesir, yaitu sama-sama sekte Ismailiyah, hanyasaja Dinasti Fathimiyah menolak ajaran 7 Imam versi Qaramitah.

Baca Juga: Menghabisi Etnis Arab, Membela Etnis Tionghoa, Radikalisme tanpa Pengakuan

Sekte Qaramitah yang sangat memuja mistisisme (aliran kebathinan) ini sangat radikal dan revolusioner, bahkan cenderung brutal. Tahun 900 mengalahkan militer Abbasiyah, tahun 902 mengepung Damaskus, tahun 906 membantai 20.000 jamaah haji, tahun 911 menguasai San'a dan Janad, tahun 927 menyerbu Ibukota Negara Abbasiyah Baghdad, tahun 928 memproklamirkan negara Qaramithah Darul Hijrah, tahun 929 kembali membantai jamaah haji dan mencuri Hajar Aswad, tahun 931 menyerbu Kufah,

tahun 951 mengembalikan hajar aswad ke ka'bah dengan jumlah tebusan sangat besar, tahun 972 menyerbu Dinasti Fathimiyah di Cairo, tahun 974 menyerang Dinasti Fathimiyah di Ain Syams, tahun 976 mengalami kekalahan terhadap militer Abbasiyah dan tahun 1067 menyerah kepada Abdullah Bin Ali Al-Uyuni yang dibantu oleh Miter Dinasti Turki Seljuk. Abdullah Bin Ali Al-Uyuni kemudian mendirikan Negara Uyuni di bekas wilayah negara Qaramithah.

Pada saat Negara Teror Ismailiyah Qaramithah sedang merajalela di seluruh wilayah Abbasiyah, Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir, leluhur para Habib dan Syarifah, memutuskan untuk hijrah meninggalkan kota Basrah. Beliau dan rombongan keluarga besarnya melakukan hijrah pada tahun 929, bertepatan dengan tahun pembantaian Jamaah Haji dan perebutan Hajar Aswad oleh Negara Qaramithah.

Imam Al-Muhajir I adalah keturunan Rasulullah yang tidak mengikuti faham syiah, beliau cenderung pada faham Ahlussunnah Wal Jamaah yang lahir pada tahun 912, lahir di tengah-tengah teror Qaramithah. Posisinya yang tidak menganut faham syiah terancam, mengingat Syiah waktu itu mulai menguasai Ibukota Negara Abbasiyah. Tercatat ada tiga kelompok syiah yang sangat kuat saat Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir memutuskan untuk hijrah, yaitu Dinasti Buwaih, Dinasti Fathimiyah dan Dinasti Qaramithah. Dinasti Buwaih kemudian berkuasa secara resmi di Irak 4 tahun setelah Imam Al-Muhajir I hijrah.

Setibanya di Hadramaut, Imam Al-Muhajir I harus berhadapan dengan masyarakat Hadramaut yang waktu itu mayoritas menganut sekte Khawarij, satu sekte dengan masyarakat Oman. Sekte Khawarij adalah sekte radikal yang terkenal dengan tokoh Ibnu Muljam sang pembunuh Khalifah Ali Bin Abu Thalib ra. Imam Al-Muhajir I melakukan pendekatan persuasif dengan penuh sopan-santun sehingga masyarakat khawarij hadramaut beralih teologi ke Ahlussunnah Wal Jamaah.

DIASPORA BANI MUHAJIR

Keturunan Imam Al-Muhajir I kemudian berdiaspora ke seluruh dunia terutama pantai Afrika Timur dan pantai India Barat. Dari pantai India Barat mereka mereka berdiaspora ke Asia Tengah bahkan ke Cina. Dari Cina dan India barat mereka bertemu di Campa (Cambodia dan Vietnam), dan dari Campa mereka berdiaspora ke seluruh wilayah nusantara.

Tentu saja alur diaspora yang saya tulis ini hanya satu versi, masih banyak versi lain tentang diaspora keturunan Imam Al-Muhajir I. Saya sengaja mengambil versi yang paling mainstream.

Diaspora keturunan Imam Al-Muhajir I ini pada awalnya bergelar Sayyid dan menyandang nama keluarga atau fam Azmatkhan dan Basyaiban. Sesampainya di tanah rantau mayoritas mereka hilangkan gelar sayyid dan nama keluarga tersebut, mereka lebih memilih gelar lokal tanah rantau seperti Kyai, Tubagus, Ajengan, Raden dan sebagainya. Penghilangan gelar Sayyid merupakan strategi canggih dalam dakwah islam di tanah rantau Bani Muhajir.

Hampir seluruh Sultan, Sunan, Kyai, Ajengan, Tuan Guru, Tubagus dan Raden di Indonesia merupakan keturunan Imam Al-Muhajir I, sedangkan Imam Al-Muhajir I merupakan keturunan ke-10 dari Fathimah Az-zahra ra. Fathimah Az-zahra ra adalah salah satu puteri Rasulullah SAW yang keturunannya dimuliakan dengan berbagai style oleh kaum Syiah dan sebagian kaum Sunni.

GENERASI HABIB

Setelah generasi Imam dan generasi Sayyid berubah gelar jadi Sunan, Sultan, Raden, Kyai, Ajengan, Tubagus, Tuan Guru dan sebagainya, datanglah rombongan diaspora gelombang terakhir.

Rombongan diaspora Bani Muhajir I gelombang terakhir ini sudah tidak bergelar Sayyid lagi, mereka bergelar Habib, dan dibelakang nama mereka menempel nama keluarga atau fam, diantaranya fam Assegaf, Al-Idrus, Alaydrus, Shihab, Shahab, Jamalullail, Al-Hadi, Al-Qadri, Mutahar, Shihab, Shahab, Bin Syech Abubakar, Tarbeh, Baabud, Al-Habsyi, Bachsin dll.

TRADISI NU DAN THARIQAH ALAWIYAH

Nahdlatul Ulama pada awal kelahirannya dijuluki sebagai "hadramautisme" oleh Belanda, karena NU sangat menghormati para Bani Muhajir Hadramaut, baik yang bergelar Sayyid, Sultan, Raden, Kyai, Ajengan, Tubagus, Tuan Guru maupun yang bergelar Habib. Doktrin NU tentang penghormatan tersebut sangat kuat dan mengakar.

Namun kelompok diaspora Bani Muhajir gelombang terakhir memilih mendirikan lembaga tersendiri yang bernama Rabithah Alawiyah, dua tahun setelah berdirinya NU.

Rabithah Alawiyah berdiri berdasarkan berdasarkan akta Notaris Mr. A.H. Van Ophuijsen No. 66 tanggal 16 Januari 1928 dan mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1928 (1346 H), yang ditandatangani oleh GR. Erdbrink ( Sekretaris Pemerintah Belanda).

Untuk merealisasikan program-program Rabithah Alawiyah, beberapa waktu kemudian didirikan al-Maktab al-Daimi, suatu lembaga yang khusus memelihara sejarah dan mencatat nasab As-Saadah Al-Alawiyyin. Maktab ini telah melakukan pencatatan di seluruh wilayah Hindia Belanda Raya. Pada tanggal 28 Januari 1940, jumlah Alawiyin yang tercatat oleh Maktab Daimi berjumlah 17.764 orang.

Diaspora Bani Muhajir gelombang I (Azmatkhan) dan gelombang II (Basyaiban) tidak masuk dalam pembukuan nasab ala Rabithah Alawiyah, mungkin karena Diaspora Gelombang I dan gelombang II dinilai sudah tidak murni lagi, terlalu banyak melakukan kawin campur dengan pribumi nusantara.

FENOMENA BARU NU

Entah bagaimana asal mulanya, fenomena baru telah muncul di tubuh NU. Beberapa pimpinan NU sudah tidak segan lagi adu argumentasi dengan kelompok diaspora gelombang terakhir atau biasa disebut Alawiyyin atau Ba'Alawy atau Habaib. Bisa kita lihat di Youtube bagaimana para pemimpin dan tokoh NU sejak KH Abdurrahman Wahid hingga KH Said Aqil Siradj kerap berbalas pantun dengan para Habaib. Yang paling keras adalah adu argumentasi antara KH Abdurrahman Wahid (Bani Muhajir Gelombang I) dengan Habib Rizieq Shihab (Bani Muhajir Gelombang III).

HABIB NU dan HABIB FPI

Pada tanggal 17 Agustus 1998 Habib Rizieq Shihab yang diduga mendapat back up penuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mendirikan Front Pembela Islam yang selanjutnya disingkat FPI. Banyak Habaib yang bergabung dengan FPI. Begitu lahir FPI langsung menjadi salah satu organ Pam Swakarsa bentukan Panglima ABRI Jenderal Wiranto untuk mengamankan Sidang Istimewa MPR RI 1998. Sejarah mencatat bahwa Pam Swakarsa kemudian terlibat bentrok berdarah dengan elemen gerakan reformasi yang terkenal dengan tragedi semanggi I. Paska tragedi semanggi, FPI terus menerus terlibat dalam aksi kekerasan dan intoleran, yang menurut mereka merupakan Nahi Munkar.

Karena FPI terlihat berbeda style dengan NU, maka sebagian Habib memilih tetap aktif di NU, tidak ikut terlibat dalam FPI, dan sebagian habib lainnya memilih tidak aktif keduanya.

Habib yang aktif di NU antara lain Habib Luthfi Bin Yahya dan Habib Zein Bin Smith. Beliau berdua ada di jajaran Mustasyar PBNU. Penampilan Habib-habib NU rata-rata lembut, tenang dan tidak berapi-api, mereka berlanggam moderat.

TITIK TEMU SEKALIGUS TITIK PISAH

Titik temu antara Bani Muhajir Gelombang I, II dan III sebetulnya sangat kuat, yaitu titik temu genealogis, sesama keturunan Fathimah Az-zahra ra dan titik temu teologis, yaitu sama-sama menganut teologi Ahlussunah Wal Jamaah.

Namun kedua titik temu tersebut kemudian menjadi titik pisah karena para Bani Muhajir gelombang III memunculkan Thariqah Alawiyah dan FPI, sedangkan Bani Muhajir gelombang I dan II memunculkan Ahlusunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah dan Islam Nusantara.

Kita ikuti saja perkembangannya, mereka sama-sama Bani Fathimah Az-zahra ra.

Penulis adalah pengurus NU dan IKA PMII Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO