SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Wartawan produktif Dahlan Iskan hari ini menulis tentang porang. Tanaman yang lagi jadi idola para petani di berbagai daerah. Padahal, tulis Dahlan Iskan, tujuh tahun lalu para petani sangat sulit diajak menanam porang.
“Sampai hari ini harga porang masih terus tinggi. Bisa Rp 8.000/kg. Padahal biaya tanam dan rawatnya sangat rendah. Hanya sekitar Rp 2.000/kg. Maka banyak petani porang sangat menikmatinya,” tulis mantan menteri BUMN yang dikenal sebagai wartawan cerdas itu.
Baca Juga: Dituding Murtad, Dahlan Iskan Jawab dengan Shalat
Karena itu, Dahlan Iskan berharap pemerintah tak pernah membantu petani porang. Agar mereka tetap mandiri. Sebab jika dibantu malah ruwet. “Ujung-ujungnya justru bikin repot,” tulis Dahlan Iskam.
Loh? Lalu bagaimana masa depannya? Silakan baca tulisan menarik itu yang hari ini, Selasa (23/2/2021) dimuat Disway dan HARIAN BANGSA. BANGSAONLINE.COM menurunkan tulisan tersebut seca lengkap. Selamat membaca:
PETANI porang kini merambah ke mana-mana. Pun sampai ke Riau. Juga Sumbawa. Tidak lagi hanya di Jateng dan Jatim.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Di Gunung Kidul merajalela. Di Ponorogo demikian juga. Pun Pantura seperti Tegal dan Batang.
"Apakah ini tidak berbahaya? Apakah harga tidak akan jatuh?" tanya seorang peserta seminar Zoom yang diadakan Paguyuban Petani Porang Nasional kemarin.
Saya tidak bisa menjawab. Saya sendiri terheran-heran. Tujuh tahun lalu, ketika saya ke Purwodadi dan Blora, masih sulit meyakinkan petani untuk menanam porang.
Baca Juga: Tambah Wawasan soal Dunia Jurnalistik, Siswa SMA AWS Kunjungi Kantor HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE
Tapi hasil menanam porang memang meyakinkan. Harga pun masih terus naik –sampai saya sendiri miris. Harga yang terlalu baik justru tidak baik. Bisa jadi, suatu saat akan berubah jadi bencana: ketika benih sudah ikut naik, jangan sampai harga tiba-tiba jatuh. Petani bisa rugi.
Sampai hari ini harga porang masih terus tinggi. Bisa Rp 8.000/kg. Padahal biaya tanam dan rawatnya sangat rendah. Hanya sekitar Rp 2.000/kg. Maka banyak petani porang sangat menikmatinya. Lalu, tanpa dikampanyekan pun, petani tergerak sendiri untuk tanam porang.
Yang jelas Indonesia masih impor glukomanan. Sampai sekarang. Impornya masih 100 persen pula.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Glukomanan atau konjak, bahan bakunya harus dari porang. Kita hanya bisa ekspor porang dalam bentuk umbi. Belakangan mulai berdiri beberapa pabrik tepung porang. Tepung itu mereka ekspor. Lumayan. Maju selangkah. Tepung porang itulah yang jadi bahan baku pabrik glukomanan di luar negeri.
Petani porang adalah petani yang paling mandiri. Pupuknya tanpa subsidi. Pasarnya bebas. Penyuluhannya dari sesama petani.
Saya bangga dengan itu. Mereka tidak ingin pemerintah membantu –ujung-ujungnya justru bisa bikin repot. Dan bikin ketergantungan. "Lebih baik seperti ini. Jangan cengeng," kata saya pada mereka. "Jangan merepotkan pemerintah. Nanti justru bikin kita repot," kata saya lagi. Dalam banyak hal pemerintah itu tidak perlu membantu. Yang penting jangan ngrusuhi –jangan mengganggu.
Baca Juga: Dimeriahkan Puluhan Doorprize, Jalan Sehat HUT ke-10 BO dan Bazaar UMKM Diserbu Ribuan Warga
Tidak banyak komoditas pertanian yang bisa memberikan imbal hasil sebaik porang. Tebu pasti kalah. Apalagi padi. Jagung. Kedelai.
Tapi begitu meluas petani yang menanam porang sekarang ini. Pesantren kami di Pangandaran pun saya minta tanam porang. Di pekarangannya yang luas itu.
Begitu banyak makanan yang tergantung pada glukomanan. Kue atau minuman jelly pasti impor glukomanan. Makanan yang memerlukan kekenyalan pasti mengandung glukomanan. Termasuk bulatan-bulatan dalam minuman boba yang lagi ngetop sekarang.
Baca Juga: Ribuan Peserta Hadiri Jalan Sehat HUT ke-10 BANGSAONLINE
Bagaimana masa depan porang? Apakah akan menghadapi kelebihan pasok?
Saya pun menghubungi relasi lama saya. Hamzah Muhammad Ba'abud. Yang 7 tahun lalu saya gelari anak muda andalan. Yang tinggal di Lawang, Malang. Yang mampu menciptakan mesin pengolah rumput laut. Agar kita tidak lagi impor karagenan 100 persen. Yang bahan bakunya rumput laut.
Waktu itu kita hanya bisa ekspor rumput laut kering. Lalu impor karagenan.
Baca Juga: Gondol Ikan Lele Seberat 2,1 Kg, Warga Jetis Juara Lomba Mancing HUT ke-10 BO dan HUT Kemerdekaan RI
Hamzah tidak omong kosong. Ia membuat pabrik karagenan di Pasuruan. Ia olah rumput laut kering menjadi tepung karagenan. Yakni bahan baku makanan dan pasta gigi dan banyak lagi.
Pabrik karagenannya bertahan sampai sekarang. Bahkan kian besar. "Sudah dua kali lebih besar dari waktu Pak Dahlan pertama ke sini," ujar Hamzah.
Enam bulan lalu saya hubungi lagi Hamzah. Saya sampaikan persoalan mirip rumput laut di bidang lain: porang. Sambil berharap Hamzah memikirkan untuk menciptakan mesin pembuat tepung glukomanan. Yang bahan bakunya porang.
Baca Juga: Jalan Sehat Satu Dekade BANGSAONLINE: Progress Pra-Acara, Lomba Mancing dan Respon Eri Cahyadi
Setelah itu beberapa kali lagi saya hubungi Hamzah.
Terakhir kemarin sore.
Saya ingin tahu perkembangan pemikirannya: apakah sudah terbayang bisa membuat mesin glukomanan-porang.
"Sudah ketemu Pak. Insya Allah bisa," kata Hamzah. "Ternyata jauh lebih mudah dari membuat pabrik karagenan," tambahnya.
Alhamdulillah.
"Saya sudah mulai kerjakan pembuatan peralatannya," ujar Hamzah.
Alhamdulillah.
"Mungkin, akhir tahun ini bisa produksi," katanya.
Alhamdulillah.
Saya masih ingat siapa Hamzah. Bagaimana posturnya. Seperti apa semangatnya.
Ia lulusan teknik mesin Universitas Merdeka, Malang. Anaknya tiga orang –yang terkecil 4 tahun. Abahnya masih sehat –umur 96 tahun. Uminya belum lama meninggal dunia.
Hamzah telah bikin rekor: bikin pabrik karagenan dari rumput laut. Ia telah memberi muara bagi petani rumput laut. Mesin ciptaannya terbukti bisa beroperasi secara komersial. Juga berkelanjutan. Mutu karagenannya pun sejajar dengan yang impor dari Jepang.
Lalu saya minta Hamzah memikirkan petani porang. Hasil pemikirannya ternyata sudah final: siap dikerjakan.
"Mesin yang Anda rancang ini perlu bahan baku apa? Umbi porang atau chip porang atau tepung porang?" tanya saya.
"Langsung dari umbi porang," jawabnya.
"Umbi kering atau basah?" tanya saya.
"Umbi basah," jawabnya.
Alhamdulillah... (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News