SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Sejak krisis 1997-1998, pangan tidak dilihat sebagai hal strategis dengan sudut pandang geopolitik. Kondisi ini akhirnya membuat Indonesia terus terjerat dengan impor pangan serta kekalahan dari negara lain.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Pakar DPP PAN, Dradjad H Wibowo, saat menjadi narasumber dalam webinar yang diselenggarakan oleh Fraksi PAN DPRD Jawa Timur dengan tema “Permasalahan Impor dan Kedaulatan Pangan".
Baca Juga: Reses, Ketua DPRD Jatim Serap Aspirasi Masyarakat di Griya Bakti Prapen Indah
Menurutnya, untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dan membangun kedaulatan pangan, Indonesia tidak bisa hanya berkutat dengan buka tutup impor, yang sering diwarnai pertarungan kepentingan terkait kuota impor.
“Kita harus menangani akar masalahnya, melakukan perbaikan yang terstruktur untuk meningkatkan produksi nasional. Perbaikan ini memerlukan waktu yang lama yang melampaui masa jabatan Presiden, Menteri, Gubernur dan pejabat terkait lainnya,” tegasnya.
Dradjad mengatakan, perbaikan ini mencakup minimal berbagai bidang seperti pangan pokok dijadikan komoditas strategis, kebijakan yang masif untuk meningkatkan produksi pertanian dan pangan seperti jaman BIMAS dulu, penguatan wewenang dan keuangan Bulog untuk stabilisasi harga.
Baca Juga: Menangkan Pasangan SAE, Ratusan Kader dan Pengurus DPD PAN Sidoarjo Rapatkan Barisan
"Peningkatan riset dan inovasi terkait produksi pangan, menghentikan atau minimal mengurangi konversi lahan pertanian subur di Jawa Bali dengan UU yang tegas, dikombinasikan dengan kebijakan perumahan dan non-pertanian yang minim penggunaan lahan dan untuk gula, pelaksanaan UU Perkebunan secara konsisten," tuturnya.
Menurut Drajad, selama dua dekade terakhir ini, pangan tidak lagi diperlakukan sebagai komoditas strategis, keberpihakan terhadap produksi pertanian jauh melemah, sementara kemampuan stabilisasi harga jauh merosot karena kewenangan dan kemampuan finansial Bulog sudah sangat dipreteli.
“Pemretelan Bulog ini merupakan salah satu butir krusial dalam Letter of Intent antara IMF dengan Indonesia. Dengan kata lain, IMF memreteli kemampuan Indonesia menjaga stabilitas harga pangan melalui Bulog. Harga di tingkat petani sering anjlok jauh lebih drastis saat panen raya,” terang Drajad.
Baca Juga: Polemik Perjalanan Dinas dan AKD di DPRD Kota Kediri Berlanjut
Di sisi lain, lemahnya keberpihakan terhadap produksi pertanian membuat produksi pangan Indonesia tumbuh lambat, stagnan atau bahkan merosot. Sering anjloknya harga di tingkat petani makin mempercepat konversi lahan pertanian yang subur di Jawa dan Bali menjadi lahan perumahan dan non-pertanian lainnya.
Diperburuk oleh masalah struktural berupa rendahnya kepemilikan dan pengelolaan lahan per keluarga tani, kelemahan riset dan inovasi ini membuat produktivitas pangan Indonesia jauh lebih rendah dari Thailand dan Vietnam, sehingga biaya pokok dan harga jualnya pun lebih mahal.
Dengan pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita Indonesia, otomatis kebutuhan pangan naik dengan cepat. Kenaikan ini jauh lebih cepat dari kenaikan produksi pangan, apalagi sebagian produksi tersebut stagnan. “Produksi tidak mencukupi konsumsi, sehingga mau tidak mau harus impor pangan agar harga stabil,” tandasnya.
Baca Juga: Blusukan di Kelurahan Tosaren, Bunda Fey Mampir ke Sumber Bulus dan Perajin Batik Djajawarsa
Di sisi lain, lanjut Drajad, selisih harga yang besar tersebut membuat impor menjadi bisnis yang super menggiurkan. Itu sebabnya para raja impor pangan mampu menjadi raksasa bisnis di Indonesia. Itu sebabnya hampir tiap tahun kita melihat keributan soal pengaturan kuota impor pangan, sampai tidak sedikit elit politik yang ditahan KPK.
“Itu sebabnya kita melihat ada keributan soal Permenperin 3/2021. Jatim menjadi episentrumnya karena kuota impor pangan sama dengan fulus besar,” tutupnya. (dra/ian)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News