Situasi Sekarang Masuki Krisis Sosial, Juru Bicara Kemenkes: karena Mutasi Varian Delta dari India

Situasi Sekarang Masuki Krisis Sosial, Juru Bicara Kemenkes: karena Mutasi Varian Delta dari India Foto: ist

JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Clinical Epidemiolog Ahlina Institute Dr. Tifauzia Tyassuma mengatakan, situasi sekarang sudah memasuki dan dikhawatirkan akan terjadi chaos (kerusuhan) di masyarakat.

"Ini yang paling kita khawatirkan, kita mesti bersama-sama segera bahu-membahu untuk mencegah, jangan sampai ini menjadi chaos," kata dr Tifa, sapaan akrab Tifauzia Tyassuma, dalam diskusi Gelora Talk 09 dengan tema 'Pandemi Berlanjut Akankah Memicu Krisis Sosial' di Jakarta, Rabu (29/7/2021) petang.

Baca Juga: Semarak Gerakan Nasional Aksi Bergizi Tour to School di SMPN 2 Kota Batu

dr Tifa memprediksi pandemi tidak akan selesai pada 2022, karena virus Corona terus melakukan mutasi dan membentuk varian-varian baru, termasuk varian lokal Indonesia.

"Siap-siap saja pandemi ini akan berjalan lama, sedikitnya butuh waktu antara 3-5 tahun lagi. Artinya ketika masih Pilpres, pandemi masih ada dengan asumsi terjadi mutasi-mutasi dan pemerintah belum ada solusi pengendalian sama sekali," katanya.

Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta juga menegaskan, krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini sudah memasuki rute ketiga, yakni tahapan . Jika pemerintah tidak tanggap, maka akan berlanjut menjadi .

Baca Juga: Terapkan 6 Pilar Transformasi Kesehatan, Pemkot Mojokerto Diapresiasi Dirjen Kesmas Kemenkes

"Tanda-tandanya menunjukkan bahwa kita ada di lampu kuning. Pandemi sudah menyebabkan krisis ekonomi, dan sekarang berlanjut pada . Kita harus berhati-hati membaca tanda-tanda ini, tanpa bermaksud saling menyalahkan, karena pada akhirnya merupakan tantangan bagi kita semuanya sebagai bangsa," kata Anis Matta saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talk 09 tersebut.

Dalam diskusi yang dihadiri Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Sumber Daya Indonesia 2015-2016 , Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Menkes) Siti Nadia Tarmizi dan Clinical Epidemiolog Ahlani Institute Tifauzia Tyassuma itu, Anis Matta mengingatkan, krisis ekonomi saat ini menyebabkan gelombang PHK besar-besaran dan angka kemiskinan naik 50 persen.

Menurut Anis Matta, suasana jiwa masyarakat (public mood) saat ini diliputi kesedihan, ketakutan, kemarahan, dan frustrasi. Kondisi tersebut bisa saja berbuah pada ledakan sosial dan , apabila tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah.

Baca Juga: RS Kemenkes Surabaya Diresmikan, Pj Gubernur Jatim Optimistis Tingkatkan Layanan Kesehatan

Di samping itu, ternyata vaksinasi tidak mampu mencegah munculnya varian baru. Vaksin terlihat kalah kuat dari varian baru yang terus bermunculan, sehingga masih dibutuhkan beberapa kali vaksin lagi.

"Ini menyangkut daya tahan fiskal dan kapasitas pemerintah. Pandemi menyedot anggaran sedemikian rupa, sementara pada waktu yang sama menutup sebagian besar sumber pendapatan pemerintah," ujarnya.

Situasi saat ini, lanjut Anis Matta, tentu saja menjadi ujian dan tantangan yang sulit bagi pemerintah. Apalagi jika melihat tanda-tanda, krisis terlihat akan semakin membesar.

Baca Juga: Kemenkes Pantau Langsung Kesiapan RSUD dr Iskak Tulungagung untuk Naik Kelas Tipe A

"Pertanyaan yang sulit dijawab, berapa lama pemerintah bisa bertahan dalam situasi seperti ini. Daya tahan fiskal pemerintah, apakah mampu mengatasi persoalan ini, karena krisis akan jauh lebih besar dari yang diperkirakan," katanya.

Menko Maritim dan Sumber Daya Indonesia 2015-2016 menilai, pemerintah salah langkah dalam menerapkan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 selama ini.

Sejak awal seharusnya pemerintah menerapkan lockdown agar Covid-19 tidak menyebar. Bukan sebaliknya, bongkar pasang istilah dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Ketat, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Mikro, PPKM Darurat, sampai terakhir PPKM Level 4.

Baca Juga: Rusdi Sutejo Dapat Rekom dari Partai Gelora untuk Pilkada 2024 di Kabupaten Pasuruan

“Di seluruh dunia efektif mengendalikan pandemi ini sederhana kok, lockdown. Iya kan nanti kalau udah berkurang ya nggak ada lockdown. Nanti kalau ada pandemi lagi ramai lagi atau virus baru lagi variasi baru ya lockdown lagi,” ujar .

Apabila kebijakan lockdown diterapkan ketika itu, kata , cost (biaya) yang dikeluarkan pemerintah tidak akan sebesar sekarang mencapai Rp 1.035 triliun, tapi cukup merogoh kocek Rp 415 triliun dan Covid-19 bisa dikendalikan.

"Lockdown hanya butuh Rp 415 triliun, itu buat kasih makan rakyat dan kasih obat-obatan gratis. Saya (merasa) aneh. Di seluruh dunia ada nggak sih, yang menyelesaikan kasus krisis tapi dengan ganti istilah doang? Mohon maaf kagak ada," tegas .

Baca Juga: Efek Sering Konsumsi Minuman Berpemanis Bagi Tubuh

Juru Bicara Siti Nadia Tarmizi mengatakan, peningkatan kasus Covid-19 saat ini, karena ada mutasi baru varian Delta dari India, sehingga pemerintah perlu mengencangkan kembali pelaksanaan rem darurat melalui PPKM.

"PPKM Darurat Level 4 hingga 1 itu sesuai dengan rekomendasi WHO. Upaya ini untuk menurunkan mobilitas, bukan menghentikan, karena mobilitas ini memfasilitasi varian virus menyebar ke seluruh daerah. Sehingga kasus di daerah secara cepat meningkat dalam jumlah besar," kata Siti Nadia.

Pemerintah menilai penerapan PPKM Darurat berdasarkan level ini tidak mengganggu aktivitas ekonomi dan kehidupan masyarakat, karena diterapkan di level RT/RW, desa/kelurahan atau kecamatan saja.

Baca Juga: Berikut Ajakan Pj Wali Kota Kediri saat Buka Gebyar Kader Kesehatan

"Di level yang paling terkecil sangat memungkinkan untuk melakukan mengawasi arus keluar masuk di wilayah tersebut," pungkas Juru Bicara ini. (tim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO