Jangan Ada Kecurangan dalam Muktamar, Masdar F Mas’udi Usul NU Dipimpin Direktur

Jangan Ada Kecurangan dalam Muktamar, Masdar F Mas’udi Usul NU Dipimpin Direktur Masdar F Mas'udi (foto: tempo)

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Ternyata makin banyak tokoh NU yang was-was terhadap praktik kecurangan dalam Muktamar NU ke 33 yang rencananya digelar di Jombang tanggal 1-5 Agustus 2015. Maklum, mereka trauma dengan Muktamar NU ke-32 di Makassar. Hampir semua PWNU dan PCNU mengaku melihat praktik riswah dan kecurangan dalam pemilihan Rais Am dan Ketua Umum PBNU di Muktamar Makassar.

Diantara tokoh NU yang khawatir atas terjadinya kecurangan itu adalah Rais Syuriah PBNU KH. Masdar Farid Masudi. "Muktamar nanti harus lebih terbuka dan tidak ada yang namanya kecurangan dalam pemilihan," kata Kiai Masdar kepada wartawan, usai diskusi dalam Forum Tabayun Ikatan Sarjana NU (ISNU) Jawa Timur dengan tema Mengawal Suksesi Kepemimpinan NU di JX International Expo, Surabaya, Minggu 19 April 2015.

Namun, Masdar enggan menyebutkan secara detail yang dimaksud kecurangan dalam pemilihan Rais Syuriah dan Ketua Umum PBNU.

Sementara saat berbicara dalam diskusi, Masdar mempertanyakan rencana penerapan sistem pemilihan Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) dalam memilih Rais Am.

”Apakah situasi sekarang memang mengharuskan kita pakai Ahwa,” katanya. Menurut dia, Ahwa tidak bisa menyerap aspirasi warga NU karena hanya diwakili oleh 9 orang.

Sikap senada juga disampaikan Masdar Hilmy, intelektual muda NU. "Kalau sistem pemilihan saja yang harus kembali masa lalu, sementara kita tidak mengkaji lebih serius maka modus operandi kebutuhan terhadap masa lalu itu bisa terjadi dan itu menurut saya sangat fatal," ujar dia. Ia juga berharap seluruh elemen harus mengawal Muktamar NU ke 33 di Jombang, agar tidak dijadikan tunggangan kepentingan politik.

Masdar juga mengingatkan bahwa situasi sosial sekarang sudah berbeda dengan jaman dulu. Karena itu, ia minta NU ke depan harus mulai memikirkan pengelolaan organisasi secara lebih modern.

Menurut Masdar, pola kepemimpinan berbasis kharisma seorang kiai seperti yang selama ini diterapkan, lambat laun mulai tidak sesuai dengan perkembangan zaman. "Zaman berganti, harus ada distribusi power," ujar Masdar

Pada awalnya, kata Masdar, NU dikelola sepeti halnya sebuah pesantren karena organisasi kemasyarakatan dengan jumlah pengikut terbanyak itu bisa dilogikakan sebagai pesantren besar. Layaknya pola kepemimpinan pesantren, kiai pemegang kuasa di NU punya otoritas sangat besar.

"Dulu seorang Rais Am NU itu luar biasa. Semua sami'na wa ato'na, tidak ada yang berani membantah ucapannya," kata Masdar.

Namun seiring perkembangan zaman, pola kepemimpinan absolut dan tradisional semacam itu mulai kurang cocok diterapkan untuk organisasi dengan basis massa yang besar. Terlebih NU telah ditinggalkan oleh kiai-kiai kharismatik seperti KH Hasyim As'ari, KH Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri yang, bagi Masdar, tatarannya telah mencapai kemaksuman. "Alam sudah tidak melahirkan lagi kiai-kiai sebesar beliau-beliau," ujarnya.

Karena itu Masdar setuju bila NU mulai luwes dalam mengelola organisasinya. Ia punya gagasan pimpinan NU tidak harus kiai, namun seorang direktur. Masdar membandingkan dengan kemunculan pesantren-pesantren modern yang dijalankan oleh seorang direktur dan ternyata sukses.

"Pendidikannya jalan, santrinya banyak," ujarnya. Ia mencontohkan keberhasilan KH Ir Salahuddin Wahid (Gus Solah) dalam memimpin Pesantren Tebuireng. Menurut dia, kharisma Gus Solah jelas kalah dibanding para kiai pengasuh Pesantren Tebuireng sebelumnya, apalagi jika dibanding dengan kakeknya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Begitu juga dari segi keilmuan agama.

Tapi meski Gus Solah kalah kharisma dan tak bisa baca kitab kuning faktanya bisa memajukan Pesantren Tebuireng. Kini santri Tebuireng lebih banyak ketimbang jaman dulu. Meski demikian, kata Masdar, doktrin-doktrin yang bersifat dasariah dan esensial tetap harus dipertahankan. Misalnya, soal ajaran ahlus sunah wal jamaah dan Khittah NU 1926 yang selama ini menjadi pegangan organisasi. "Ini tantangan-tantangan ke depan yang harus dihadapi NU, karena evolusi itu hukum besi," ujarnya.

Masdar Hilmy mengatakan gagasan Masdar Mas'udi cukup revolusioner. Hilmy melihat tidak mudah meyakinkan NU untuk menerima gagasan tersebut. Walaupun demikian, untuk sebuah ide besar, kata dia, gagasan Masdar Mas'udi layak dipikirkan atau dikaji.

"Cuma pertanyaanya adalah, apakah NU mau melakukan perubahan sedrastis itu," kata Hilmy yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya ini. (sby-1/tempo/ss)

Lihat juga video 'Mobil Dihadang Petugas, Caketum PBNU Kiai As'ad Ali dan Kiai Asep Jalan Kaki ke Pembukaan Muktamar':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO