Demokrasi dalam Bahaya, Hasil Pemilu Ditolak, Jika Tak Jujur Alias Curang

Demokrasi dalam Bahaya, Hasil Pemilu Ditolak, Jika Tak Jujur Alias Curang R. William Liddle. Foto: dok. pribadi/tempo

Mengapa tindakan nepotis ini membahayakan kelangsungan demokrasi di Indonesia? Nepotisme dalam politik Indonesia sebenarnya sudah lama menjadi barang yang sangat umum, di setiap tingkat pemerintahan, di Indonesia.

Contoh terkini, pengangkatan anak Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, sebagai Ketua DPR dan pengangkatan putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Tapi, menurut Lidddle, ketika Mega jadi presiden tak pernah melakukan tindakan nepotisme seperti Jokowi.

Begitu juga SBY. Saat menjabat presiden tak berprilaku aji mumpung seperti Jokowi.

“Perbedaannya: selaku presiden, Megawati ataupun SBY tidak pernah mengguncangkan stabilitas negara lewat tindakannya yang kemudian menimbulkan keraguan terhadap legitimasi lembaga-lembaga elektoral,” tulisnya.

Di Indonesia, tutur Liddle, sejak 1998, stabilitas bergantung pada kepercayaan publik pada sejumlah lembaga, termasuk Komisi Pemilihan Umum dan undang-undang yang menjamin kebebasan pers.

Namun, peran utama dimainkan oleh MK sebagai pemilik hak putus akhir menurut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

“Korupsi Jokowi terhadap MK bisa berakhir dengan tumbangnya demokrasi,” tulis Indonesianis asal AS itu.

Menurut dia, Alarm sudah mulai didengungkan sejumlah tokoh prodemokrasi di dalam negeri, bukan hanya oleh pakar asing.

Ia mengutip pernyataan Mahfud MD. Menurut Liddle, dalam kapasitasnya selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengaku menerima laporan mengenai kecurangan pemilu di Jakarta, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara.

”Laporan yang saya terima, antara lain, dugaan pemasangan baliho parpol oleh oknum tertentu. Sebaliknya, terjadi penurunan baliho parpol tertentu yang diduga dilakukan oleh aparat,” ujar Mahfud MD (Kompas, 15/11/2023).

Menurut Liddle, kemungkinan berikutnya yang bisa muncul adalah potensi penolakan hasil pemilu. Hal itu diungkapkan, antara lain, oleh pengamat politik dari Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah.

Diungkapkannya, ”Kalau Prabowo dan Gibran menang, semua kubu bisa saja beranggapan itu kemenangan yang diperoleh secara tidak jujur, maka mereka akan menolak hasil pemilu. Begitu hasil pemilu ditolak, itu kan tidak legitimate (Kompas, 15/11/2023).”

Akhirul kata, tulis Liddle, keprihatinan saya dipertajam oleh Philips Vermonte, pengamat senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, yang kini Dekan Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Islam Internasional Indonesia.

Vermonte mengungkapkan kekhawatirannya mengenai semakin meningkatnya potensi untuk terjadi konflik pasca-Pemilu 2024.

”Entah siapa yang menang pada putaran pertama pasti akan ada yang menuntut pada MK. Badan itu kini menjadi laga pertempuran publik dengan perdebatan seru,” ujarnya di Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga think tank ternama di Washington, Amerika Serikat, 17 Januari 2024.

Liddle menulis tentang kondisi demokrasi Indonesia dalam rangka menyongsong Pilpres. “Dalam waktu dekat, perhatian dunia akan tertuju kepada Indonesia dengan dilangsungkannya pesta demokrasi Pemilu 2024, Februari mendatang. Ke mana demokrasi Indonesia menuju?,” tulis Liddle.

Diakui atau tidak, pengamatan dan analisis Liddle ini cukup jernih dan insyaallah bermanfaat untuk pembaca terutama para pecinta demokrasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO