Nasab Ideologis dan Nasab Biologis, Mana yang Lebih Unggul

Nasab Ideologis dan Nasab Biologis, Mana yang Lebih Unggul Mukhlas Syarkun. Foto: bangsaonline

Pertama, kisah putra Nabi Nuh alaihissalam yang bernama Kan'an, yang memiliki hubungan nasab secara biologis kepada Nabiyullah Nuh Alaihissalam. Tetapi tidak memiliki hubungan ideologis dengan sang ayah, akibat sikap dan pemikirannya berbeda dari apa yang dimiliki oleh sang ayah (Nabi Nuh AS). Meskipun sang ayah mencoba untuk menyelamatkan, tetapi tetap saja ia ditenggelamkan dalam badai banjir. Ia tenggelam bersama kaum-kaum yang ingkar terhadap ajaran (idiologis) yang dibawa oleh Nabi Nuh.

Kedua, merujuk firman Allah (al-'araf: 179), bahwa manusia berpotensi menjadi makhluk hina, bahkan lebih hina dari hewan, ketika manusia tidak menggunakan hatinya (membersihkan hatinya), tidak memanfaatkan penglihatan dan pendengarannya kearah yang posistif dan bermanfaaat untuk kemaslahatan.

Ketiga, sebagaimana firman (Ali Imran: 112), bahwa manusia dalam posisi yang rendah “dhuribat ‘alaihimudz-dzillatu” (hina , rendah diposisi manapun, tetap hina meskipun nasab dari nabi atau wali), ketika gagal menjalin relasi yang baik dengan Allah (hablum minallah) dan gagal berlaku baik pada manusia (habalum minannas)_.

Keempat, merujuk hadits nabi yang popular, “Allah tidak melihat tampilan lahiriyah (tahta, harta dan nasab), tetapi yang dilihat oleh Allah adalah hatinya”. Yaitu hati yang bersih dan selanjutnya menuntun rohaniannya untuk taat kepada Allah dan memberi manfaat pada manusia.

Nasab Idiologis

Nasab ideologis dapat dirujuk dalam sabda Rasulullah SAW, "Al-'ulamau waratsatul anbiya "(bahwa ulama adalah pewaris para nabi). Penegasan nabi ini dapat dipahami bahwa mereka yang menjadi ulama adalah menjadi waritsnya (nasab idiologisnya), sebab kalimat “waratsa” ini akrab dengan konteks nasab (merujuk ilmu warits), karena yang mendapat harta waris adalah mereka yang memiliki hubungan nasab. Oleh karena itu, secara tidak langsung dapat dipahami bahwa mereka yang menjadi seorang ulama menempati posisi yang penting di hadapan nabi, bahkan diakui sebagai pewarisnya.

Tentu yang dimaksud adalah ulama yang memenuhi kriteria sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT (surah Fathir) bahwa ulama itu memiliki karakteristik yang menonjol sebagai seorang hamba yang takut kepada Allah (Yakhsya-Allah).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, bagi mereka yang tidak memiliki hubungan nasab secara biologis, akan diakui oleh Nabi memiliki hubungan ketika seseorang tersebut melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan dan menguatkan rohaniannya senantiasa takut kepada Allah (yakhsya-Allah).

Dengan demikian dapat disimpulkan, ketika seseorang yang memiliki hubungan sambung kepada nabi (walisongo, kiai dan lainnya), namun tidak melengkapi dirinya dengan (ilmu, akhlak dan taat kepada Allah), maka gugurlah tersebut, sebagaimana Kan’an putra Nabi Nuh AS. Bahkan lebih hina dari hewan (kal'an'am balhum adhall), ketika tidak menggunakan hati, penglihatan dan pendengaran, untuk taat dan berlaku manfaat dan maslahat, bahkan berlaku sebaliknya. Bukankah Demikian ??

Jakarta,

3/7/2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO