Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Tafsir Al-Anbiya Dr. KH. Ahmad Musta'in Syafi'ie.

Dalam disiplin qawa’id fiqih, teori ijtihad itu ada dua, yakni: mukhatti’ah dan mushawwibah. Mukhatti’ah ialah penilaian sebuah ijtihad secara obyektif dan logik. Ijtihad atau hasil pemikiran yang benar dianggap sebagai benar dan ijtihad yang salah dianggap sebagai salah.

Sementara teori mushawwibah adalah teori serba benar, serba membenarkan tanpa memandang hasilnya bagaimana. Yang dipandang adalah kerja ijtihadnya saja, bukan hasilnya. Ini adalah teori rahmah dan murni sebagai penghargaan terhadap sang mujtahid.

Dua teori itu sama-sama ada dalam kehidupan kita. Traffic light, tiga warna lampu di jalan raya adalah syariah yang wajib dipatuhi oleh pengendara.

Lampu merah wajib berhenti. Ternyata ada yang nyelonong menerobos dan ditangkap polisi. Meskipun si pengendara tersebut beralasan buta warna dan tidak melihat, tetap saja kena tilang. Ijtihadnya salah dan tetap dihukum. Itulah teori mukhatti’ah.

Sedangkan teori mushawwibah seperti peserta lomba yang tidak mendapat juara. Mereka tetap mendapat penghargaan karena partisipasinya, karena usahanya yang maksimal, meski hasilnya minim.

Di dalam memahami kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, Tuhan bisa saja hadir dengan pendekatan mushawwibah tersebut. Sebab Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Perhatikan ayat di atas ketika Allah SWT memuji Sulaiman yang beride cemerlang dengan bahasa: "Fafahhamnaha Sulaiman". Ya, pujian itu benar, tetapi Tuhan tidak mencela, tidak menegur, tidak mengkritik apalagi merendahkan menyalahkan Dawud. Artinya, bahwa Dawud sudah berada pada jalur dan keputusan yang benar.

Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat dalam perjalanan pula ke Madinah usai ekspedisi Ahzab yang super melelahkan, beliau memberi komando: "... Jangan ada yang mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah".

Ternyata, sebagian sahabat shalat ashar sebelum tiba di Bani Quraidhah karena khawatir telat dan waktu ashar habis. Kelompok ini memahami sabda Rasul sebagai rencana bisa yang masih perlu dikomukasikan dengan keadaan, masih perlu diijtihadi, demi menggapai yang lebih maslahah. Lalu diambil yang paling bagus.

Sementara yang lain tetap mematuhi sabda Rasul mulia itu dan shalat ashar di Bani Quradhah meski qadla’ atau telat beneran.

Kelompok ini patuh utuh terhadap sabda nabi dan dianggapnya sebagai keputusan, maka tidak boleh disalahi, tidak boleh ada ijtihad di depan wahyu.

Sesampainya di Bani Quraidhah, persoalan tersebut disampaikan ke hadapan Nabi dan beliau diam saja.

Diam Rasulullah SAW tersebut dipahami sebagai restu terhadap kedua kelompok yang berbeda pendapat. Keduanya tidak dipersalahkan.

Di sisi lain, fikih piaraan ada yang merujuk pada adat setempat. Jika tradisi daerah tersebut hewan ternak harus dijaga, diangon, maka itu kewajiban peternak. Bila hewan ternak merusak, maka tanggung jawab peternak.

Di kehidupan kita, ada hewan yang mesti dijaga, dirawat seperti sapi, kambing, dan ada hewan yang biasa liar seperti ayam atau burung merpati.

Merpati makan karak, nasi yang dijemur, maka pemilik merpati tidak dibebani tanggung jawab. Justru yang menjemur yang kewajiban menjaga karaknya. Itu hukum adat dan berlaku di daerah.

Begitu pula ayam memakan jagung tetangga yang dijemur secara terbuka. Menurut kurikulum per-ayam-an, itu undangan pesta, gratis. Allah a’lam.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO