JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Perseteruan KPK kembali terjadi dengan lembaga lain. Jika dulu disebut tengkar Cicak vs Buaya dengan Polri, kini perseteruan antara KPK dengan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
“Jadi nyatalah bahwa lembaga anti-rasuah ini sudah dipegang kepalanya oleh penguasa. KPK pun sudah menjadi ayam sayur, yang jadi ayam aduan penguasa,” kata Rachma sebagaimana dilansir pojoksatu.id.
Baca Juga: KPK Diminta Jangan Hancurkan BPK Demi Ahok
Perseteruan antara KPK dan Polri terjadi karena kasus pembelian lahan untuk Rumah Sakit Sumber Waras yang menyeret nama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama. KPK seakan-akan mementahkan temuan BPK dan akhirnya memutuskan bahwa tidak ada tindak pidana korupsi dalam kasus ini.
Politikus yang bernama lengkap Rachmawati Soekarnoputri tersebut, menilai salah ketik dari pihak Kementerian Dalam Negeri, dengan menyebut KPK sebagai Komisi Perlindungan Korupsi memang ada betulnya.
“Kok mau KPK diadu dengan dengan lembaga lain, dengan para terduga koruptor. Walhasil sukses bagi koruptor, dan memang ini Republik para garong seperti kata Buya Syafii Maarif,” demikian Rachma.
Baca Juga: Ahok Marah dan Usir Wartawan karena Ditanya Aliran Dana Rp 30 M ke Teman Ahok
Kekecewaan juga disampaikan Ratna Sarumpaet. Dia menganggap bila KPK tidak bisa begitu mudah menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
"Ini kan kasus yang disoroti publik tidak bisa dengan enteng dia secara otoriter mengatakan, 'oh nggak ada', gak bisa gitu," tutur Ratna.
Ia menegaskan pemerintah dan KPK harus berhati-hati karena ada barisan masyarakat yang kecewa.
Baca Juga: DPR Pertanyakan Mata Hati Pimpinan KPK Terkait Kasus RS Sumber Waras
"Dia (KPK) harus hati-hati terutama pemerintah harus hati-hati. Rakyat ini dari garis kemiskinan sudah kecewa, dari perekonomian sudah kecewa jangan biarkan rakyat benar-benar marah. Kalau begitu kita nanti menyesal," katanya.
KPK menyatakan tidak melindungi siapa pun saat membuat kesimpulan tidak menemukan perbuatan melawan hukum dalam penyelidikan pembelian lahan RS Sumber Waras seluas 3,64 hektar dalam lanjutan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR.
"Kami tidak ingin melindungi siapa pun dan tidak ingin zalim dan betul-betul ingin kerja sama dengan BPK," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III di gedung DPR Jakarta, Rabu.
Baca Juga: KPK Sebut Tak Ada Korupsi di RS Sumber Waras, DPR Curiga KPK Masuk Angin
Ketua KPK Agus Rahardjo dalam rapat itu menyatakan bahwa tim penyelidik KPK merekomendasikan untuk menghentikan penyelidikan Sumber Waras meski laporan audit hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan ada kerugian negara Rp191 miliar.
"Kami berlima dan seluruh teman-teman ini mungkin adalah orang paling tersiksa karena kasus Sumber Waras ini kami didemo setiap hari. Ada tokoh masyarakat yang datang tapi setelah diterima kami disodori hasil audit BPK. Padahal kasus ini bukan diawali saat kepemimpinan kami, kasus ini diawali pada masa kepemimpinan sebelumnya," ungkap Laode.
Menurut Laode, saat ia dan empat komisioner KPK lain resmi dilantik, KPK sudah meminta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan audit forensik.
Baca Juga: Nyali Ahok Ditantang, Jangan Banyak Komentar, Gugat BPK ke Pengadilan
"Apa betul uang hanya diterima setengahnya? Kami minta PPATK menelusuri, kami cek, kami periksa orangnya. Jadi untuk hal lokasi tanah yang lokasinya tertulis dalam surat tanah dan banyak sekali yang kami ketahui dari forensik itu namun demikian kami berterima kasih atas tambahan info yang diberikan ke kami," ungkap Laode.
Laode berjanji bahwa KPK akan menemui BPK untuk mencari titik temu menyangkut perbedaan pendapat KPK dan BPK itu.
"Bahwa kami diminta atau diimbau untuk bertemu BPK. Tanpa diimbau pun insya Allah kami akan bertemu dengan beliau. Penyelidik kami juga pernah melakukan gelar perkara bersama BPK. Kita lihat aturannya A, B, C, D, semua kita lihat tapi KPK sampai pada kesimpulan belum bisa meningkatkan kasus ini kepada tingkat penyidikan," tambah Laode.
Baca Juga: Ahok Terus Tumpahkan Kekesalannya Usai Diperiksa KPK: BPK, Lu Kira Gue Takut!
Apalagi, menurut Laode, KPK belum meminta laporan perhitungan kerugian negara ke BPK sehingga audit investigasi BPK itu hanya merupakan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK perwakilan DKI Jakarta atas Laporan Keuangan pemerintah provinsi DKI Jakarta 2014 yang menjadi bahan pengaduan masyarakat ke KPK.
Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menanggapi, selama ini hasil audit BPK menemukan ada uang yang mesti dikembalikan ke negara Rp 191 miliar.
"Oke kami jelaskan, bahwa sampai saat ini BPK belum mendapatkan penjelasan resmi dari KPK. Tentang kasus RS Sumber Waras, informasi yang kami dapat dari media. Kami dengar prosesnya masih berlangsung, tentunya kami akan mempersiapkan perkembangan lebih lanjut apa yang akan kita lakukakan," jelas jubir BPK R Yudi Ramdan di kantornya di gedung BPK ,Jl Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (15/6/2016).
Baca Juga: Ahok Beber Pemeriksaan oleh Penyidik KPK: Lucu Banget Pertanyaan Penyidik
Yudi menepis ada conflict of interest seperti yang diisukan terkait adanya auditor yang menawarkan lahan makam untuk dibeli Pemprov DKI, namun ditolak hingga kemudian muncul isu lahan Sumber Waras.
Yudi menerangkan, atas kasus Sumber Waras, BPK telah membuat dua audit. Pertama audit laporan atas laporan keuangan daerah DKI yang dilakukan pada 2013.
"Kami melakukan pemeriksaan yang telah diserahkan DPRD dan Pemerintah DKI. Di dalam LHPD (laporan hasil pemeriksaan daerah) DKI itu ada temuan pengadaan Sumber Waras. Ada rekomendasi dari BPK agar kerugian negara kemudian dipulihkan," tutur dia.
Baca Juga: 12 Jam Diperiksa Terkait Kasus RS Sumber Waras, Ahok: BPK Menyembunyikan Kebenaran
Kemudian berdasarkan permintaan KPK, pada Juli 2015. BPK diminta melakukan investigasi, dan telah melakukannya lalu diserahkan ke KPK.
"Kita serahkan ke KPK pada Desember 2015. Ini merupakan bagian pendalaman dari LHPD. Khusus untuk LHP awal itu sudah terbuka untuk umum dan beredar. Sementara LHP investigasi, sesuai undang undang itu adalah konsumsi aparat penegak hukum dalam hal ini KPK. Kami telah menyerahkan substansinya. Selanjutnya ini kewenangan KPK. BPK tidak berkewenangan memberitahukan LHP. Sudah ada temuan BPK agar kerugian negara Rp 191 miliar itu dipulihkan," urai dia.
Yudi menegaskan, apa yang dilakukan BPK dalam melakukan audit sudah final dan sudah sesuai pedoman.
"Sudah clear. Hasil Sumber Waras sudah final, dan ini konsumsi aparat penegak hukum untuk tindak lanjut. Tersangka bukan kewenangan BPK. Kami hanya ambil fakta lapangan. Mengindikasikan dan menghitung kerugian negara," tegas dia.
"Masalah tindak pidana bukan kewenangan BPK. Atas rekomendasi yang pernah kita lakukan kami memastikan harus ditindaklanjuti. Artinya bila tidak ditindaklanjuti sudah ada pelanggaran konstitusi. Bagi BPK semua sudah firm," tutupnya. (tic/det/mer/rol/lan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News