كان يقبل بعض أزواجه ثم يصلي ولا يتوضأ
“Rasulullah saw pernah mencium salah satu dari istri-istrinya kemudian melaksanakan salat tanpa berwudhu terlebih dahulu”. (Hr. an-Nasai:170)
Pendapat kedua juga didukung dengan ayat-ayat al-Quran lainnya bahwasanya mereka berpendapat Al-Quran ketika berbicara tentang hubungan badan maka akan menggunakan redaksi مس –يمس (massa – yamussu ) bukan لامس – يلامس (laamasa – yulaamisu) yang sama-sama mempunyai arti menyentuh.
Firman Allah yang berbunyi :
قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيّا
“Dia berkata darimana aku bisa punya bayi padahal aku tidak disentuh seorangpun dan aku bukan pezina”. (Qs Maryam [19]:20)
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ
“Dia berkata darimana aku bisa punya anak laki-laki padahal aku tidak disentuh seorangpun”. (Qs. Alu Imron [3]:47)
مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنّ
“Sebelum kalian menggauli (berhubungan badan) mereka”. (Qs.al-Baqarah [2]:173
Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan boleh mengikuti pendapat pertama atau pendapat kedua. Dan sepertinya suami Ibu ikut terhadap pendapat ulama pada kelompok kedua yaitu ulama syafi’iyah. Maka benar, suami Ibu tidak mau bersalaman terlebih dahulu agar tidak membatalkan wudhunya sebab Ibu adalah bukan mahromnya, alias ajnabiyah. Karena Ibu itu bukan mahrom bagi suami Ibu, maka Ibu dapat menikah dengan suami Ibu.
Namun, jika Ibu dan Suami ingin mengikuti pendapat pertama, maka tidak jadi masalah kalau hanya sekedar bersalaman dengan suami setelah melaksanakan salat dan bukan bersentuhan untuk tujuan bermesrahan. Wallahu a’lam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News