Kontroversi Pemilihan Rais Am | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Kontroversi Pemilihan Rais Am

Selasa, 14 April 2015 14:23 WIB

Maimunah Saroh

Ada peringatan dari KH Ahmad Baghowi, rais syuriah PC NU Nganjuk, Jawa Timur. Dia meminta kalangan elite NU memakai referensi kitab kuning setiap mengambil keputusan strategis. Dalam konteks ahwa, dia merujuk kitab Qothrul Ghaits (halaman 12) dan Al Fiqhu Alaa Madzahibil Arba’ah (hal 1364). Menurut dia, dalam kitab muktabarah (standar pesantren) itu, tak ada angka pasti anggota ahwa sehingga tak tepat jika elite PB NU membatasi sembilan orang.

Menurut dia, saat Rasulullah SAW wafat, jumlah sahabat 124.000 orang. Maka, wajar jika dalam pengangkatan khalifah Abu Bakar atau Utsman, mereka hanya diwakili 5 sampai 6 orang atau di bawah bilangan 10 orang. Atau, 1 anggota ahwa mewakili 20.000 orang.

Kini, kata KH Baghowi, jumlah warga NU ratusan juta. Karena itu, rasional jika diwakili 500 rais syuriah. Toh, setiap rais mewakili ratusan ribu warga NU kabupaten/kota. Lagi pula, su’ul adzab menyalahkan pengurus NU tempo dulu hanya karena memakai sistem pemilihan sesuai dalam AD/ART NU sekarang.

Ketiga, skenario ahwa ditengarai tidak tulus. Hanya untuk menjegal figur tertentu. Keempat, ahwa dianggap mengambil alih hak PW-PC NU dalam menentukan pemimpin NU ke depan. Padahal, kiai-kiai yang ditunjuk sebagai anggota ahwa belum tentu lebih wira’i, zuhud, arif, dan alim ketimbang rais syuriah PW-PC NU.

Kelima, tak ada jaminan ahwa bisa mengikis riswah (money politics) dan pengaruh politisi. Justru memengaruhi sembilan kiai lebih mudah daripada 500 rais syuriah PW-PC NU. Lagi pula, kalau pemilihan rais am lewat ahwa, sedang ketua umum dipilih lewat suara muktamirin, legitimasi rais am jelas lebih rendah (hanya dipilih sembilan kiai) dibanding ketua umum yang dapat mandat dari 500 lebih kiai se-Indonesia.

Khoiron menyebut ide ahwa muncul dari kasus muktamar NU di Makassar yang mirip dengan pilkada. Memang ada yang berpendapat bahwa muktamar NU di Makassar adalah muktamar terburuk. Karena itu, mereka minta praktik tercela riswah dalam muktamar NU di Makassar tidak terulang.

Wallahualam bissawab. (*)


NB: Tulisan ini diambil dari koran Jawa Pos Edisi Senin, 13 April 2015

 

 Tag:   Opini muktamar-nu

Berita Terkait

Bangsaonline Video