Kereta Cepat dan Beban Berat PT KAI
Editor: MMA
Selasa, 15 Agustus 2023 07:44 WIB
JAKARTA,
BANGSAONLINE.com - Selintas kehadiran
aneka kereta api modern – terutama kereta cepat dan listrik – mengangkat gengsi
bisnis PT Kereta Api Indonesia (KAI). Namun secara faktawi ternyata justru
menambah beban. Termasuk pemeliharaan dan aset relnya.
Apalagi kereta cepat itu – seperti ditulis wartawan kondang Dahlan Iskan – bukanlah pengembangan atau ekspansi bisnis PT KAI. Melainkan proyek pemerintah langsung lewat mega hutang yang bakal menjadi beban anak cucu kita.
BACA JUGA:
Dirut KAI Resmikan Monumen Loko Uap C1140 di Stasiun Kediri, Dalam Rangka HUT PT KAI ke-79
Libur Panjang Maulid Nabi, KAI Daop 7 Catat Okupansi Penumpang KA Melonjak 122 Persen
Pintu Perlintasan KA Rusak Akibat Tersangkut Atap Truk, PT KAI Tuntut Ganti Rugi
Puluhan PKL dan Tukang Becak Unjuk Rasa di Stasiun Kediri, Tuntut KAI Beri CSR dan Tak Seenaknya
Belum lagi soal status dan pemeliharaan rel yang butuh perawatan. Ruwet sekali.
Bagaimana cara mengurai keruwetan itu? Silakan simat tulisan Dahlan Iskan di BANGSAONLINE edisi Selasa 15 Agustus 2023 di bawah ini. Selamat menikmati sambil mengernyitkan dahi.
PENGANTAR REDAKSI BANGSAOLINE
PT Kereta Api Indonesia (KAI) tiba-tiba memasuki tahap menjadi perusahaan raksasa. Bulan ini. Agustus 2023. Bertepatan dengan ulang tahun hari kemerdekaan.
Raksasa pula utangnya.
Dua jenis bisnis besar tiba-tiba masuk ke lingkungan PT KAI. Dua-duanya Anda sudah tahu: kereta cepat Jakarta-Bandung dan kereta layang listrik. Yang terakhir itu dari Bekasi ke Jakarta dan dari Cibubur ke Jakarta.
Dua-duanya termasuk mega proyek. Maka kini KAI menangani tujuh perusahaan angkutan rel: kereta konvensional, KRL Jabodetabek, kereta batu bara Langkat-Lampung, kereta bawah tanah Jakarta, kereta layang listrik dan kereta cepat Yawan.
PT KAI telah jadi perusahaan raksasa.
Di awal Orde Baru, kereta api Indonesia mengalami kemerosotan yang tajam: matinya jalur-jalur kecil. Lebih tepatnya: dimatikan. Tidak lagi ekonomis. Mempertahankannya bisa berarti bunuh diri. Sudah kalah dengan angkutan mobil. Lebih kalah lagi oleh meledaknya sepeda motor.
Jarak seperti Tasikmalaya-Pangandaran tidak mungkin lagi dihidupkan. Atau Solo-Wonogiri. Madiun-Ponorogo. Kamal-Sumenep. Wonokromo-Sepanjang. Termasuk jalur yang sangat populer disebut di novel Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia: Sidoarjo-Toelangan.
Puluhan jalur-jalur kelas ranting mati seperti itu. Di Jateng. Di Jabar. Di Sumut. Relnya pun banyak yang sudah hilang. Ke depan pun tidak mungkin lagi dihidupkan. Dipikirkan pun hanya akan memakan energi. Hanya kaca spion yang masih punya romantisme melihat ke belakang.
Memang aset-aset tersebut masih hidup. Setidaknya di buku aset. Mungkin juga di dalam laporan keuangan. Dan ini sebuah pekerjaan besar. Harus diselesaikan. Aset-aset itu sudah menjadi mayat. Tapi belum dikuburkan. Jumlahnya banyak. Perlu kuburan khusus. Lahannya harus disiapkan: berbentuk aturan hukum. Agar aset itu bisa dihapus dari buku KAI tanpa ada yang jadi tersangka.
Saya pernah mengalami kesulitan memindahkan bangkai-bangkai mobil perusahaan daerah. Agar tidak mengganggu keindahan. Juga agar lahannya bisa dipakai kepentingan lain. Tidak bisa. Itu masih tercatat sebagai aset daerah. Menghapusnya tidak mudah.
Tapi pemandangan itu menyebalkan. Dijual juga tidak mudah. Biaya administrasinya lebih mahal dari nilai jualnya.
"Kalau misalnya ada yang mencuri rongsokan itu bagaimana?" tanya saya.
"Kita harus lapor polisi. Lalu berdasarkan laporan itu bisa dihapus dari daftar aset. Lebih sederhana," ujar staf saat itu.
"Hahaha bagus. Cari saja orang yang bisa mencurinya. Lalu lapor polisi".
"Nanti satpamnya yang ditahan, Pak. Mengapa ada pencurian sampai tidak diketahui".
Saya yakin rel di jalur ranting-ranting mati itu sudah banyak yang dicuri. Atau ditutupi aspal. Untuk melebarkan jalan.
Intinya: kereta api Indonesia memasuki babak ''harus melupakan'' yang lama-lama. Untuk memasuki era baru: KRL, KLL, kereta cepat.