Sorakan Massa | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sorakan Massa

Wartawan: -
Rabu, 20 Desember 2017 09:08 WIB

Suparto Wijoyo

Jangan-jangan, orang-orang Trump telah membaca buku pelajaran anak-anak SD Indonesia dan mengetahui ternyata negara muslim terbesar itu memberi pelajaran “instruktif” yang menyatakan bahwa Israel beribukota di Jerusalem. Buku ini ditulis dan dibaca oleh anak-anak sekolah bahwa Indonesia memberikan pengakuan “tersembunyi” dengan cara “meneledorkan diri” sambil menyalahkan rekanan penerbitan. Realitas yang bisa dibaca beda sebagaimana dengan membaca Putusan MK dimaksud.

Maka pidato-pidato yang membawa nama institusi resmi tampak hambar meski harus hadir di “kamar-kamar perundingan OKI”. Dalam lingkup ini MUI membaca dengan hati, bahwa ada yang masih perlu ditegaskan: Aksi Bela Palestina. Jutaan orang “menyemut” memenuhi panggilan kodratnya untuk solider dengan sesama muslim maupun kemanusiaan mengenai apa yang terjadi di bumi Palestina.

Dalam lingkup ini, gempita aksi terus dibaca dan pimpinan ormas yang merasa “super” dan terbidik menjadi “jubir” yang sangat aktif, agar peserta aksi tidak membawa bendera organisasi pimpinannya. Seloroh pun muncul: memangnya umat organisasinya yang turut menyemarakkan pergerakan ini mendengar suaranya yang terus lirih dalam keperihan hati umat, tetapi teriak lantang dalam barisan kuasa tanpa mampu menjadi penyemibang yang adil. Jenggot saja dia adili. Suatu tamparan keras yang mestinya para petinggi ormas ini segara mengambil langkah “kemaslahatan” terhadap pucuk pimpinan yang tampil seperti sedang “berteriak di padang oasa imajiner”: berpenampilan tidak tahu kondisi hati warganya.

Semua problema itu sepertinya hadir melengkapi mencuatnya “parade” persekusi yang menghampiri ulama, sejak dari kasus yang pernah menimpa jajaran MUI sampai pada dai kondang yang diakronim UAS. Langkah hukum ditempuh dan kabar sebelah ruang sidang juga berujar tentang hilangnya nama-nama penting dari lembar pekerjaan Jaksa di dokumen hukum e-KTP. Kebetulan yang “diraibkan” dari onggokan berkas itu berasal dari partai yang sedang memanggungkan kuasanya. Hal itu semakin lemgkap dengan “dukungan” yang sangat “vulgar” dari Ketua Umum ICMI yang hendak “membuka pintu lebar melanjutkan posisi dua periode”. Kemudian, titik-titiknya disambung melalui kerjasama organ ini dengan parpol yang telah “menghaki” kosakata “pekik merdeka tanpa takbir”.

Soal hilangnya jajaran tersangka maupun terdawa dari berkas yang melibatkan Setnov, menjadikan orang berpikir dan memunculkan persaksian bahwa hukum tidak imun terhadap situasi kolektif subjeknya. Status ketersangkaan ternyata memiliki lapis-lapis perlakuan. Ketersangkaan tanpa konsekuensi tematik terdekatnya menjadikan tanda tanya dalam narasi penegakan hukum.

Inilah titik di mana hukum dalam kosmologi ketersangkaan ternyata bukanlah akhir dari kisah dugaan kejahatan. Pada lingkup ini langit-langit negara selalu menorehkan berita hukum yang membuat jutaan rakyat memasuki etape sorak-sorak nestapa, bukan sorak-sorak bergembira, sebuah sorakan massa “setimpal” dari yang terlontar kepada sang menteri yang “beda rasa” dalam Aksi Bela Palestina.

*Penulis adalah Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

 

 Tag:   Opini

Berita Terkait

Bangsaonline Video