Sumamburat: Sedekah Suara | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: Sedekah Suara

Wartawan: -
Rabu, 17 Januari 2018 18:53 WIB

Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

PILKADA hadir menjadi pesona yang memukaukan pandangan bagi mereka yang gandrung kekuasaan. Hiruk pikuknya dianggap sebagai tembang yang melantunkan merdunya kosa kata. Kampanye digelar guna meneriakkan cita-cita menjemput takdir meraih tahta. Semua orang yang terpancing “syahwat” pilkada tidak segan menuang segala cara untuk mendapatkannya.

Jabatan kepala rukun tetangga sampai kepala negara diburu penuh nafsu yang amat kentara. Sampai di sini ingatan digiring menuju tarikh pemikiran Niccolo Machiavelli yang lahir pada tahun 1469 di Florence, Italia yang memperkenalkan buku Il Principe. Karya Sang Pangeran yang ditulis Machiavelli pada tahun 1513 diterima oleh “pecandu kuasa” menjadi “kitab agung” tata cara meraih kekuasaan dengan hukum-hukum spesifiknya: membunuh sahabat seperjuangan maupun mengkhianati teman-teman.

Kekuasaan dianggitkan bukan soal agama dan moralitas, melainkan seberkas gumparan kekuatan. Tidaklah heran kalau Napolen Bonaparte dikabarkan selalu menyimpan buku ini di bawah bantal tidurnya. Kekuasaan memang dipanggungkan penuh pijaran kehormatan bagi yang hendak merengkuhnya, sehingga apapun bisa dikorbankan demi untuk mendudukinya.

Saksikanlah bagaimana drama pilkada terus berlanjut dalam panggung nasional yang kemarin “diselimuti duka” ambruknya ruang Bursa Efek Indonesia di Kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta. Setiap saat, pilkada menyedot energi umat maupun yang sedang dimabok kepayang tentang “seksinya” tampilan pemegang otoritas negara.

Demi mendapatkan kehormatan untuk nanti berorasi di “mimbar kantor” pemerintahan yang membawahi beribu pegawai yang senantiasa menyimpulkan sungging senyumnya, sang tokoh tega melakukan aksi di luar batas imaji. Kini warga “teraduk pikirnya” menyaksi bisik-bisik uang mahar untuk mendapatkan rekomendasi. Bisikan yang telah lama menyesakkan publik itu akhir-akhir ini diberi pengeras suara dengan nada dasar “terluka”.

Calon yang gagal menerima “pinangan” dari salah satu partai politik tampil seperti “komandan menyeru prajuritnya”. Gempita pilgub Jatim diramaikan tetabuhan yang sumbang dengan “gamelan biaya politik” yang ditujukan kepada ketua partai (andai saja sang ketua ini merekomendasikan pun, dia tetap akan berjalan sendirian, karena koalisi tidak kunjung bisa diraih), dan ini klimaks dari “kegagalan diri”, bukan akibat ketidakpedulian partai.

Mahar itu seperti “bayangan mimpi” yang realitasnya hanya ada dalam “kelambu tidur mendengkur” yang sejatinya dirasakan “pengidam jabatan negeri”. Bagi pembaca Sumamburat yang tidak tertarik melakukan “pernikahan politik” untuk segera “hamil kekuasaan”, dipastikan tidak pernah “nyidam mahar rekomendasi”. Pada batas ini, urusan nuruti “jabang bayi” ada dalam wilayah privasi dengan probabilitas tetangga turut membantu mencarikan adalah soal “kerelaan hati”.

Untuk itulah merebut “hati tetangga” yang dengan segala “pamrihnya” melontar tanya: adakah kau telah siapkan dana untuk memenuhi “nyidamnya kehamilan nafsumu”, saya pahami sebagai wujud “antisipasi langkah strategis yang hendak diambilnya”. Kalaulah kemudian ini memunculkan kata “palak” seperti dilansir banyak media, berarti inilah buah yang didapat dari pengajaran Machiavelli di awal abad ke-16 yang tetap terjaga di abad 21 ini.

Soal mahar, dana partai, uang saksi bagi “pengidam kekuasaan” terbaca sedang bersiap mecah celengan, mengambil uang tabungan. Entah mengapa cara menabung yang diajarkan leluhur dulu diberi sebutan “celengan”? Adakah hal ini bersentuhan dengan “celeng” yang khalayak pada umumnya mengenal sebagai babi hutan selaku nenek moyang babi liar dengan nama ilmiah sus scrofa, termasuk golongan omnivora. Tentu tidak terkait meski terkadang berkonotasi antara “celeng” dan “celengan” yang sama-sama “menjadi lahan penyimpanan” yang pada waktu dibutuhkan akan “dipecah”.

Begitukah perpolitikan ini diatur dengan memberi rambu-rambu regulasi yang membatasi agar pilkada jauh dari karakter “mecah celengan”? Politik harus diisi dengan kebersihan orang-orang beriman yang telah diajari tentang thoharo, dan bukannya diharamkan bagi para pemangku agama. Kini Jatim sedang melagakan dua kandidat yang memiliki sisik-melik santri yang besar dalam bejana NU, yang pastinya anti dengan “sogokan maupun korupsi”, sehingga saya berkeyakinan bahwa parpol pengusungnya tidaklah “menajiskan diri” dengan “memintal upeti”.

Saya sungguh bersangka tanpa praduga bahwa para calon cagub Jatim tidak ada yang “membeli rekomendasi” dengan “mengeruk harta negeri”. Di pengajian-pengajian sejatinya telah lama didongengkan renungan yang dikisahkan dalam Hikayat Arabia Abad Pertengahan (Tales of The Marverios) yang serupa legenda 1001 Malam (The Arabian Nights) seperti diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Malcolm C. Lyons (2014), berbunyi:

“Pada mayat yang terbungkus, tergantung tablet dengan tulisan: Akulah Syaddad yang Agung. Aku menaklukkan seribu kota; seribu gajah putih dikumpulkan untukku; aku hidup selama seribu tahun dan kerajaanku menjangkau timur dan barat. Tetapi ketika kematian datang kepadaku, tak satu pun dari semua yang aku kumpulkan berfaedah bagiku. Engkau yang menyaksikanku dapat mengambil pelajaran: waktu tak bisa dipercaya”.

Untuk itulah warga Jatim tidak boleh tergiring alergi dengan dua kandidat yang sama-sama religius dan khatam kitab-kitab pembelajaran kebangsaan. Warga Jatim diniscayakan jelas bersikap dengan pilihan yang terang sambil terus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga, dan sampai pada masanya, tanggal 27 Juni 2018, mantaplah melangkah melakukan gerakan “sedekah suara”. Jadi pilkada ini ladang amal bukan?

*Penulis adalah Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

 Tag:   Opini Unair

Berita Terkait

Bangsaonline Video