Sumamburat: Sedekah Suara | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: Sedekah Suara

Wartawan: -
Rabu, 17 Januari 2018 18:53 WIB

Suparto Wijoyo

Untuk itulah merebut “hati tetangga” yang dengan segala “pamrihnya” melontar tanya: adakah kau telah siapkan dana untuk memenuhi “nyidamnya kehamilan nafsumu”, saya pahami sebagai wujud “antisipasi langkah strategis yang hendak diambilnya”. Kalaulah kemudian ini memunculkan kata “palak” seperti dilansir banyak media, berarti inilah buah yang didapat dari pengajaran Machiavelli di awal abad ke-16 yang tetap terjaga di abad 21 ini.

Soal mahar, dana partai, uang saksi bagi “pengidam kekuasaan” terbaca sedang bersiap mecah celengan, mengambil uang tabungan. Entah mengapa cara menabung yang diajarkan leluhur dulu diberi sebutan “celengan”? Adakah hal ini bersentuhan dengan “celeng” yang khalayak pada umumnya mengenal sebagai babi hutan selaku nenek moyang babi liar dengan nama ilmiah sus scrofa, termasuk golongan omnivora. Tentu tidak terkait meski terkadang berkonotasi antara “celeng” dan “celengan” yang sama-sama “menjadi lahan penyimpanan” yang pada waktu dibutuhkan akan “dipecah”.

Begitukah perpolitikan ini diatur dengan memberi rambu-rambu regulasi yang membatasi agar pilkada jauh dari karakter “mecah celengan”? Politik harus diisi dengan kebersihan orang-orang beriman yang telah diajari tentang thoharo, dan bukannya diharamkan bagi para pemangku agama. Kini Jatim sedang melagakan dua kandidat yang memiliki sisik-melik santri yang besar dalam bejana NU, yang pastinya anti dengan “sogokan maupun korupsi”, sehingga saya berkeyakinan bahwa parpol pengusungnya tidaklah “menajiskan diri” dengan “memintal upeti”.

Saya sungguh bersangka tanpa praduga bahwa para calon cagub Jatim tidak ada yang “membeli rekomendasi” dengan “mengeruk harta negeri”. Di pengajian-pengajian sejatinya telah lama didongengkan renungan yang dikisahkan dalam Hikayat Arabia Abad Pertengahan (Tales of The Marverios) yang serupa legenda 1001 Malam (The Arabian Nights) seperti diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Inggris oleh Malcolm C. Lyons (2014), berbunyi:

“Pada mayat yang terbungkus, tergantung tablet dengan tulisan: Akulah Syaddad yang Agung. Aku menaklukkan seribu kota; seribu gajah putih dikumpulkan untukku; aku hidup selama seribu tahun dan kerajaanku menjangkau timur dan barat. Tetapi ketika kematian datang kepadaku, tak satu pun dari semua yang aku kumpulkan berfaedah bagiku. Engkau yang menyaksikanku dapat mengambil pelajaran: waktu tak bisa dipercaya”.

Untuk itulah warga Jatim tidak boleh tergiring alergi dengan dua kandidat yang sama-sama religius dan khatam kitab-kitab pembelajaran kebangsaan. Warga Jatim diniscayakan jelas bersikap dengan pilihan yang terang sambil terus bekerja memenuhi kebutuhan keluarga, dan sampai pada masanya, tanggal 27 Juni 2018, mantaplah melangkah melakukan gerakan “sedekah suara”. Jadi pilkada ini ladang amal bukan?

*Penulis adalah Kolomnis, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

 Tag:   Opini Unair

Berita Terkait

Bangsaonline Video