​Sumamburat: Rimbawan, "Sang Pangalasan" | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

​Sumamburat: Rimbawan, "Sang Pangalasan"

Editor: Redaksi
Wartawan: -
Rabu, 28 Maret 2018 16:38 WIB

Suparto Wijoyo.

Tentu dalam sejarahnya ada romantika yang terkadang terluka bahkan menjeritkan rintih bagi orang-orang yang selama ini mengiringi “bebrayannya”. 2,2 juta hektar lahan hutan yang ada dalam “pangkuan kinasih” harus diramut dengan tetangga-tetangga bahkan anggota keluarga yang lain melalui partisipasi masyarakat untuk “memetik rezeki” yang tersedia di hutan. Kesatuan-kesatuan pemangku hutan itu haruslah sungguh-sungguh “menimang penuh kasih sayang” dan bukan “menepis serta menendang-nendang” dengan laku “sidakep pangawe-awe”. Kalau ini yang terjadi berarti hadirlah “PIL-WIL” yang akan merusak tatanan hutan sebagaimana sebuah keluarga bisa bubrah karena kesetiaan yang cedera.

Dalam lingkup itulah penguasa yang bersukma pemimpin akan ngemong laksana pamong praja akan tampil “membuang PIL-WIL” itu agar omah-omah yang sakinah mawadah warahma tetap terkonstruksi harmoni. Inilah yang dibutuhkan, bukan penguasa yang hanya menunjukkan pangrehyang justru “membubrahkan katresnan” antara suami (negara) dengan istri (bumi pertiwi). Dengan keputusan yang dianggitkan sebagai sabda suci berangka 39 yang dikeramati itu dengan “dupa-dupa sertifikat” dipermaklumkan agar “pemisahan itu tidak digugat legalitasnya”. Penguasa yang bukan pemimpin alias ortu yang polah membawa serta anak(Perhutani) kepradah-pradah.

Untunglah, meski “bapak polah”, ternyata anak-anak rimbawan hadir agar tidak kepradah membubarkan“percumbuan hutan dan pemangkunya”.Mereka istiqomah menjaga hutan Jawa. Lihatlah hutan yang di luar Jawa, tatkala negara tidak membentuk “anak pemangkunya”, maka hadirlah investor-investor yang kini “dirasani” terang-terangan menjadi predator dengan mengangkangi hutan diubah perkebunan dengan jutaan hektar, melebihi dari penguasaan hutan perhutani di Pulau Jawa. Lantas ortu tetap saja menyalahkan anak turunnya sendiri dengan mempersilahkan tetangga-tetangga dekatnya ikut “ngeloni bojone anake dewe”.

Ini tidak pernah saya imajinasi karena ada pakem toto-titinya leluhur untuk berlaku terhormatyang disebut pangalasan. Istilah yang bukan saja menjadi simbul hadirnya trahPangeran Pangalasan selaku kesatria Majapahit, tetapi spiritnya untuk tetap hidup bermartabatlah yang seyogianya disemai sebagai pengingat. Komitmen yang harus dibangun adalah sesuai makna “alas-wono-hutan” yang penuh pohon atauwit-witan, yaitu permulaan. Janganlah engkau berbuat keji kepada “gerbang permulaan”, mengingat setiap lembar daunnya mendeburkan oksigen yang kita semua hidup bersamanya. Pada titik ini saya menjadi teringat buku The Hidden Life of Trees karya Peter Wohlleben (2017): darinya kita dapat membaca bahasa alam. 

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

 

 Tag:   Opini

Berita Terkait

Bangsaonline Video