Sumamburat: "Sangkala 2030" | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: "Sangkala 2030"

Editor: Redaksi
Wartawan: -
Rabu, 04 April 2018 18:20 WIB

Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

HARI-hari ini saya menyaksi gempitanya khalayak ramai untuk membaca novel Ghost Fleet karya P.W. Singer dan August Cole setarikan nafas hadirnya tafsir yang membungkus pidato Ketua Umum Partai Gerindara, Prabowo Subianto di acara Konferensi Nasional dan Temu Kader di Sentul, Bogor. Orasi itu bermula dari panggung internal partai, 18 Oktober 2017 lalu yang diunggah di medsos dan menebarkan ujaran selingkup nasib Indonesia tahun 2030. Pidato ini menggelegar dan menggedor beragam pihak serta memantik pernyataan, termasuk dari “penduduk” Kursi Tertinggi RI yang tertarik menyentilnya, di hadapan mahasiswa waktu berkunjung di Malang, Kamis 29 Maret 2018.

Saya menyimak dalam keriuhan dan mencoba untuk mengheningkan diri di selisik kolega yang khusuk di Hari Paskah, Jumat 30 Maret 2018 sambil mencermati “semliwernya” perspektif atas kosa kata Sang Jenderal. Para akademisi tidak kurang serunya menimbrungkan diri berdiskusi “teropong 2030”, dan politisi memainkan “tali-temali” yang dirajut dalam konteks “kain pemilu 2019”. Saya menyadari betapa sebuah ungkapan dapat “meledak” di hamparan sosial yang semula “senyap-senyap” saja, kemudian menggeliat seolah ular raksasa yang harus diantisipasi agar tidak terjadi huru-hara. Ucapan itu berubah seperti selongsong peluru tajam yang nyasar ke mana-mana dan formasi politiknya amat kentara dengan dukungan media besar-besaran.

Sorot mata dan pekik kecewa tertuju kepada “penyambung pesan Indonesia 2030”, serta tepuk tangan dan senyum kemenangan seperti sedang diraih “penyuka citra” dengan “meledek” siapa saja yang mengusik Indonesia, apalagi sampai mengumbar “kata bubar” di tahun 2030. Saya terus berikhtiar mendengar pelan atas pidato yang diviralkan itu agar mampu mengendapkan ruhani di cakrawali tafsir yang menghiasi waktu. Niat baik untuk menjadikan semua bacaan sebagai referensi pemantik kasadaran kolektif bangsa agar Indonesia tetap Raya, adalah mulia adanya. Kewaspadaan nasional mutlak dibangun dan diperteguh dengan merawat rasa cinta tanah air tanpa reserve. Setiap perdebatan yang dicuatkan harus ada ujungnya yang berupa penguatan nasionalisme Indonesia sebagai negara adidaya 2030.

Rasa khawatir yang terlontar dari “kamar pribadi” partai apapun dan diri siapapun guna memperkokoh kedaulatan NKRI, bukanlah aib melainkan keterpanggilan berdharma terhadap Ibu Pertiwi. Pada titik singgung demikian, urusan menggelorakan semangat kebangsaan tidak perlu dikategorisasi dengan sebutan “sumbernya hanyalah novel” yang tidak ilmiah. Membongkahkan gairah berbangsa yang semula berupa serpihan-serpihan kehendak untuk selanjutnya menggumpal dahsyat bagi teguhnya NKRI, silahkan diramu dari bermiliar-miliar “bintang pemandu”. Argumentasi ilmiah maupun klenik boleh “disumamburatkan” dengan opsi tunggal Indonesia semakin berdaulat. Di sinilah antara kehendak dan capaian akan berkelindan dalam “detak antara” yang varian temanya boleh diomongkan tetapi pertaruhan utamanya adalah kehebatan Indonesia di panggung 2030.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

 Tag:   Opini

Berita Terkait

Bangsaonline Video