Sumamburat: "Sangkala 2030" | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: "Sangkala 2030"

Editor: Redaksi
Wartawan: -
Rabu, 04 April 2018 18:20 WIB

Suparto Wijoyo.

Untuk meredakan “ketegangan” mengenai sangkala 2030 dalam “ocehan” keilmuan, saya teringat kembali “umpatan” A.F. Chalmers dalam narasi yang amat mencubit: “… Ia menyangka bahwa ada suatu kategori ‘ilmu’ dan menganggap berbagai macam bidang pengetahuan, fisika, biologi, sejarah, sosiologi, dan sebagainya harus termasuk kategori itu atau tidak. Saya tidak tahu bagaimana karakterisasi umum tentang ilmu demikian dapat dikukuhkan atau dibela. Para filusuf tidak mempunyai jalan keluar yang bisa mensahkan suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk menilai apakah suatu bidang pengetahuan dapat diterima atau dianggap ‘ilmiah’ …”.

Dengan demikian, A.F. Chalmers telah mendeskripsikan adanya problema kolosal bagi filsafat ilmu dalam menghadapi “klaim” promotor karakteristiknya. Ia menyatakan: “bahwa tidak ada konsepsi tentang ilmu yang abadi dan universal. Hal ini berarti bahwa setiap bidang pengetahuan dapat dianalisis sebagaimana apa adanya. Kita dapat menyelidiki apa tujuannya, yang mungkin berbeda dengan tujuan yang diperkirakan secara umum”. Dari sudut pandangan ini, tidaklah diperlukan suatu kategori umum ‘ilmu’ untuk mengukur bidang pengetahuan sebagai ilmu atau dinistakan sebagai non ilmu.

Itulah sikap tegas A.F. Chalmers dalam memandang “domain” ilmu yang senantiasa melapangkan hati akademik saya. Apalagi Jujun S. Suriasumantri yang bukunya Ilmu dalam Perspektif sangat terkenal di kalangan kampus juga berujar: Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistimologi, dan aksiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefilsafatan ditinjau dari tiga landasan ini akan membawa kita kepada hakekat buah pemikiran tersebut. Demikian juga kita akan mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya. Pun Paul Feyerabend telah menandaskan: ilmu tidak mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya mempunyai keunggulan secara hakekat terhadap cabang-cabang pengetahuan lain seperti mitos purba atau voodoo”.

Akhirnya, nasihat Albert Einstein pada tahun 1938, saya cermati kembali: “Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar pekerjaanmu meningkatkan berkah manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus elalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar”. Kini biarlah saya mengelanakan pikir untuk menjelajahi semua ruang semesta dengan “kadar imajinasi” akal untuk menemukan “pendar cahaya” Indonesia di kancah 2030. Mata saya pun tertuju membaca ulang karya-karya Kahlil Gibran, Secrets of The Heart serta The Earth Gods, teristimewa kisah Kematian Sebuah Bangsa. Buku Daron Acemoglu dan James A. Robinson, The Origins of Power, Prosperity and Poverty yang mengungkit kegagalan sebuah negara, tak elok diabaikan “di belantara sangkala 2030”. Tetap setialah melantunkan lirik nyanyian “… Hiduplah Indonesia Raya”.

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

 

 Tag:   Opini

Berita Terkait

Bangsaonline Video