Sumamburat: Tak Menjumpa Arek di Surabaya? | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: Tak Menjumpa Arek di Surabaya?

Editor: Redaksi
Wartawan: --
Selasa, 04 September 2018 10:33 WIB

Suparto Wijoyo

Simaklah “benturan kearekan” yang mewarnai Deklarasi #2019GantiPresiden. Ini fakta titik balik yang aneh. Mereka menolak atas nama Arek, sementara yang dipanggul adalah identitas kerumunan berbaju ormas yang memudarkan semangat Arek. Sebutan komunitas dianggitkan dengan pergolakan batin yang dicoba disejajarkan dengan Arek. Kerumunan itu dalam kancah demokrasi sangat tidak memiliki alasan konsepsi pergaulan persuroboyoan. Sikap aparat juga terlihat memiliki “koordinat” yang menjadi benderang di mana sejatinya mereka berdiri. Kerumunan itu akhirnya menjadi penguasa yang seolah menentukan jalannya negara. Teriakan menghardik gerakan damai itu terekam dan menjadi berita yang terbaca oleh khalayak.

Peradaban Arek yang sejati bolehlah antara yang Ganti Presiden dan yang tetap dapat tampil sepanggung dengan “jam tayang” yang sama. Kalaulah itu yang terjadi, betapa deklarasi maupun yang tetap akan mewujudkan keunikan berdemokrasi model Arek Suroboyo.

Saya dibuat melongo atas kerumunan yang menyembulkan suara gaduh sok kuat dan merasa merdeka di atas aturan negara. Pada situasi itulah saya tak menjumpai lagi Arek di Surabaya. Sebuah potret yang memperpanjang deret kerumun massa yang dibiarkan sengiangan ungkapan di deret tanggal 5 Agustus 2018, saat Lombok terguncang ulang gempa berupa selipan pidato petinggi yang mengumbarkan suara “kalau diajak berantem juga berani”.

Saat itu sesegara saya menyelamis ebagai pembuka “sandiwara saja” dan bukan manifes dari dramaturgi negeri ini. Dengan segala kekuasaan yang ada di tangannya, dia mampu “bermotor besar”, bermain drama jadi tokoh apa saja. Saya pun teringat buku Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (1980/2017). Ya … Negara Teater. Selanjutnya saya asyik menenggelamkan ruhani dalam lautan ilmu Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah yang mulai ditulis tahun 1203 sebagai risalah tentang Ma’rifah Rahasia-rahasia Sang Raja dan Kerajaan-Nya. 

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Sumber: Suparto Wijoyo

 

sumber : Suparto Wijoyo

Berita Terkait

Bangsaonline Video