Menakar dan Menalar Kebutuhan | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Menakar dan Menalar Kebutuhan

Editor: Redaksi
Wartawan: --
Jumat, 07 Desember 2018 13:40 WIB

Muchammad Toha.

Maka benar adanya bila ada yang mengatakan gaya perlu biaya, gengsi perlu materi, dan tentu saja yang paling murah adalah gaya hidup sederhana dan bersahaja walaupun tidak mudah untuk mengambilnya menjadi pilihan hidup kita. Apalagi jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat sekarang yang lebih memandang kehormatan dan kemuliaan manusia dari segi penampilan fisik belaka, pasti akan menjadi ujian berat bagi orang yang bergaya hidup sederhana dan bersahaja. Sehingga demi untuk meraih kehormatan yang harus ditunjukkan melelui materi dan merek barang yang dimilikinya, seseorang rela mengorbankan kehormatannya. Sehingga dara puspita cantik jelita rela menjual dirinya untuk dipertukarkan dengan benda-benda bermerek berkelas dunia. Seorang politikus akan terjerembab dalam penjara kehilangan kehormatannya karena menyalahgunakan kewenangannya, demi memenuhi kebutuhan menjaga merek benda benda miliknya.

Merek itu bukan ada pada tas saja, karena seiring dengan tinggi dan pentingnya posisi dan jabatan itu, maka kehadiran merek selalu menyertainya. Kendaraan harus merek tertentu karena bagi kalangan ini kendaraan bukanlah hanya alat yang dapat memindahkan diri saja, tapi lebih dari itu, kendaraan akan menunjukkan prestise, kemampuan dan kedudukan pemakainya, kendatipun alasan positif pun masih dapat dicari kenapa harus berkendaraaan merek mahal. Yaitu, hanya semata-mata mencari keamanan, bukan kemewahan karena kendaraan yang berlevel rendah dalam harga kurang memperhatikan keamanan penggunanya. Sehingga akan melahirkan anekdot begitu susahnya menjadi orang miskin. Sudah sengsara, naik kendaraan yang tidak aman dan rawan celaka.

Merek juga ada dalam sarana perawatan tubuh. Ketika belum berada pada posisi yang prestisius, seorang akan mencari kebugaran dengan biaya yang murah dan terjangkau untuk ukuran masyarakat pada umumnya. Namun itu akan berubah bila posisi dan jabatan itu bergerak naik ke eskalasi yang lebih tinggi. Betapa yang dulu jika letih dan lelah hanya diterapi tukang pijat tetangga sebelah yang dipanggil ke rumah dengan ongkos tidak lebih tinggi dari tenaga mreman (kerja harian) di sawah, kini berubah harus repot hadir di tempat perawatan diri yang jauh di kota dengan lumayan biayanya. Perbedaan biaya perawatan tubuh yang sangat tidak setara itu tentunya juga bisa diterima dan tidak menjadi masalah karena baik dari usia, busana, maupun kehalusan tangan terapisnya tentunya sangat berbeda. Sehingga beda harga itu memberikan penghargaan bagi spesialisasi sebuah karya. Biaya mahal untuk seorang terapis muda belia dinilai logis karena sangat profesional. Terbukti jarinya lentik dan indah, telapak tangannya halus, berarti kerjanya khusus hanya memijat saja. Sedangkan terapis yang di kampung memang murah, tapi kerjanya bercabang-cabang. Selain memijat, juga ke sawah, bahkan kadang-kadang mencetak bata. Maka, tidak heran bila tangan kasar luar biasa.

Tidak masalah seseorang memburu merek dan mengambil pilihan hidup mewah. Namun, tentunya itu akan menjadi masalah. Bisa sejatinya tingginya selera itu tidak berbanding sama dengan tinggi penghasilannya. Sehingga untuk memenuhi kehidupan mewahnya, orang akan melakukan perbuatan nista dan menghalalkan segala cara. Dan bila itu ada pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparat Sipil Negara (ASN) yang gajinya sudah dapat diukur setiap bulannya, tentunya yang terjadi pada kondisi yang paling buruk adalah korupsi atau menjadikan apa yang seharusnya dilayani tanpa biaya dirubah menjadi ladang penghasilan tambahan untuk menutupi kebutuhannya. Atau mungkin ada dalih lain sebagai penghindaran terhadap perbuatan korupsi di kalangan pangreh praja pelayan publik untuk menutupi kekurangan penghasilan karena selera hidup yang glamour dan mewah, yaitu melakukan pekerjaan sampingan seperti bisnis online atau bentuk usaha-usaha lainnya.

Namun kiranya perlu diperhatikan dan benar-benar dipahami, bahwa keberadaan ASN sekarang begitu disorot oleh masyarakat, terutama kalangan LSM yang begitu kritis sebagai usaha perbaikan dalam memberikan pelayanan prima kepada user. Sehingga walaupun fisiknya seorang ASN, berada di tempat kerja, tetapi perhatian dan konsentrasinya terus pada smartphone atau alat komunikasi lainnya. Pasti masyarakat yang dilayani akan komplain, karena pelayanan yang diberikan tidak maksimal, dan yang pasti lagi durasi penyelesaian pekerjaan pasti akan lebih lama karena ASN tersebut berpikir ganda.

Maka sebaiknya kita kembali mengambil pilihan hidup yang sederhana dan bersahaja sebagaimana yang diteladankan Rasul kita Muhammad SAW. Dikisahkan beliau juga menjahit terompahnya sendiri, dan kisah luhur lainnya, ketika seorang sahabat mengunjungi Rasulullah dan ditemuilah oleh Syayidah Fatimah Azrah yang mengatakan bahwa ayahnya sedang istirahat. Namun setelah sahabat mengutarakan maksud kehadirannya, Sang Putri Mulia masuk membangunkan istirahat ayahandanya, dan sungguh menunjukkan keteladanan agung, sungguh begitu mudahnya untuk dapat bertemu kekasih Allah SWT. Dan yang lebih mengharukan lagi, ternyata pada pipi Sang Junjungan terlihat garis-garis merah anyaman daun kurma sebagai alas tidur beliau. Sungguh ini merupakan wujud kesederhanaan yang cukup nyata.

Bukankah di kalangan masyarakat Jawa juga cukup populer ungkapan urip mung sakmadya wae (hidup sedang-sedang saja) jangan terlalu bermewah-mewahan, tapi nikmati sesuai kebutuhan dan kemanfaatan, dalam kajian teori tokoh filsafat Jawa yang bernama Ki Ageng Suryo Mentaram yaitu enam sa, sabutuhe, saperlune, sacukupe, sabenere, samesthine, sakpenake. Kata filosof kelahiran Yogyakarta yang hidup semasa dengan Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ini, bahwa untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup, maka manusia seyogyanya mengambil pilihan hidup, yaitu secukupnya, seperlunya, sebenarnya, seharusnya, dan enaknya bagi dirinya dan sesama. Dan yang paling penting lagi bukankah dalam agama telah dijelaskan bahwa berlebihan adalah dosa. Dan yang sering kita dengar di kalangan masyarakat Jawa adalah ungkapan ora elok yang artinya luas sekali yaitu tidak baik, tidak pantas, tidak manusiawi, maka maksud sak madya adalah tengah-tengah, mungkin dalam tatar berpikir Jawa, ketinggian itu tidak baik namun kerendahan juga tidak baik. Begitu juga terlalu kanan tidak baik namun terlalu kiri juga tidak baik, maka tidak asing dan sering kita dengar dalam masyarakat Jawa, tengah bener (tengah tepat), sehingga sak madya adalah tengah-tengah karena yang keterlaluan adalah ora elok. Maka ada baiknya memilih tas ya tengah-tengah, berideologi juga tengah-tengah.

*Muchammad Toha – Kepala Balai Diklat Keagamaan Surabaya.

 

 Tag:   Opini

Berita Terkait

Bangsaonline Video