Sumamburat: Pemilu yang Menyakiti Bumi | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: Pemilu yang Menyakiti Bumi

Editor: Abdurrahman Ubaidah
Wartawan: ---
Rabu, 27 Februari 2019 09:34 WIB

Suparto Wijoyo.

Penguasa pusat dan daerah dilarang mengantrikan penduduk mengundi derita mengenyam nestapa. Kalaulah tahun 2018 ini nanti tetap menyajikan banyak bencan alam, adakah pilkada bermanfaat untuk menjaga kelestarian lingkungan?

Bertahun-tahun kawasan lindungdipaksa melakukan bunuh diri ekologi (“ecological suicide”).

Hutan desa dan perkebunan digerus berlahan tapi pasti untuk diubah menjadi areal pergudangan, membentangkan karpet merah kepada industri tanpa konservasi. Penjungkirbalikan pemanfaatan ruang yang tengah dipertontonkan dengan vulgar harus dihentikan.Mengubah hutan menjadi “kebun tebu”adalah pilihan yang membahayakan masa depan.

Sadari bahwa mengatasi banjir dan tanah longsorpastilah denganmerawat hutan yang berupa tegakan pohon, bukanranting-ranting vegetasi. Kebijakan perhutanan sosial harus menghadirkan penjaga-penjaga hutan, bukan penjarah-penjarah hutan.

Laku sidakep pengawe-awe (main mata dengan perambah hutan) mutlak dipungkasi.

Konversi lahan hutan menjadi “ladang jahe” yang berlangsung aksesif dan cenderung melegalisasi deforestasi saatnya dikoreksi. Bunuh diri ekologi ini acapkali dipelihara dengan menggadaikan kepentingan lingkungan.

Pemilu wajib dijadikan momentum peneguhan politik lingkungan yang memperkokoh wibawa negara. Rakyat membutuhkan politik sebagai sarana memproteksi setiap jengkal teritori NKRI. Hari-hari ini harus dihelat tonggak pembenahan tata kelola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang bersendikan harmoni kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan. Dengan demikian, orientasi pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengakibatkan defisit ekologi.

Pertumbuhan ekonomi yang inklusif bagi kinerja ekologi adalah opsi tunggal di era green century. Banjir dan kekeringan dapat dicegah dengan menghadirkan “Desa Hutan” dan “Kota Hutan” (tidak sekadar hutan desa/hutan kota) sebagai “yuridiksi mata air”. Ini merupakan resolusimembangun negeri tanpa sengsara ekologi lagi.

Merehabilitasi, mereboisasi, dan mengkonservasi kembali setiap kampung dengan membangun embung penampung, lumbung pangan, gayung (irigasi) dan saung (siskamling) adalah pilihan praktis. Jadikanlah hal ini“program prioritas” untuk mencegah banjir dan longsor maupun kemelaratan. Mengabaikan hal ini berarti melakukan pembiaran “pementasan drama”menyakiti bumi yang teragendakan dalam jangka panjang.Dan ini berarti pemilu belum menjadi madrasah yang mencerdaskan kita semua untuk santun terhadap alam.

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

 

 Tag:   Opini sumamburat

Berita Terkait

Bangsaonline Video