Tafsir Al-Isra 107: Cadar "Bukan" Pakaian Tradisi Wanita Arab | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Isra 107: Cadar "Bukan" Pakaian Tradisi Wanita Arab

Editor: Redaksi
Kamis, 30 April 2020 00:42 WIB

foto: Geotimes.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

107. Qul aaminuu bihi aw laa tu/minuu inna alladziina uutuu al’ilma min qablihi idzaa yutlaa ‘alayhim yakhirruuna lil-adzqaani sujjadaan.

Katakanlah (Muhammad), “Berimanlah kamu kepadanya (Al-Qur'an) atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang yang telah diberi pengetahuan sebelumnya, apabila (Al-Qur'an) dibacakan kepada mereka, mereka menyungkurkan wajah, bersujud,”

TAFSIR AKTUAL

Setelah membicarakan berbagai hal menyangkut al-qur'an, kini Tuhan membiarkan respons mereka. Silakan bagi yang mau beriman dan silakan bagi yang tidak mau beriman. "aminu bih aw la tu'minu". Meski demikian, dipaparkan sifat ilmuwan, bahwa dengan kejernihan ilmunya, mereka mesti patuh terhadap ajaran agama dan aktif bersujud di hadapan Tuhan.

Mereka menggunakan ilmunya yang mapan, daya nalarnya yang jernih yang telah disinari oleh Allah SWT dengan cahaya hidayah. Sejatinya ilmu itu sendiri adalah cahaya, sehingga dengan cahaya tersebut mereka tidak sekadar menerima ajaran agama, melainkan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari secara tulus, dan selalu bersujud di hadapan Allah SWT secara murni.

Terkait aurat, apakah menutup aurat, bercadar, berhijab, itu syariah agama yang mesti dipatuhi atau pola pakaian yang ribet dan merenggut kebebasan nafsu? Dari bahasannya saja, orang berilmu sudah bisa membayangkan arahnya.

'Aurat ('aurah), 'ara - ya'iru, artinya cacat, keburukan yang tidak boleh dilihat orang lain. Orang arab membahasakan rumah tak terjaga atau lemah penjagaannya, rawan sekali dijahati maling disebut "aurah". "... inn buyutana 'aurah wa ma hia bi'aurah".(al-ahzab: 13).

Maka menutup aurat adalah cara orang beriman, cara orang berakal melindungi diri dari hal-hal yang negatif yang dapat merusak kehormatan diri. Selanjutnya, menutup aurat adalah murni kerja ibadah demi memperoleh ridha-Nya. Dalam hal ini, orang beriman tidak punya catatan apa-apa, selain patuh dan tunduk kepada agama. Itulah, maka ulama teologi menterjemah "al-iman" dengan "al-khudlu' wa al-inqiyad", tunduk dan mematuhi.

Perkara apakah cadar, niqab, burqah, jilbab itu ajaran agama atau budaya pakaian wanita arab, maka terserah dari mana memandang. Mereka yang memandang pakaian adalah murni budaya, maka bercadar, berhijab, adalah pakaian tradisi wanita arab atau identik dengan pakaian wanita jazirah arab.

Artinya, pakaian itu bukan ajaran Islam dan tidak harus dipatuhi. Masing-masing cukup berpakaian menurut tradisi daerahnya. Sopan, wajar, dan sudah terbiasa di daerah tersebut berpakaian demikian. Di sini, aurat adalah bagian tubuh yang biasa ditutupi di daerah itu saja. Jika tradisinya tidak pakai tutup kepala, maka tidak pakai kerudung atau jilbab tidak melanggar agama. Agama mengikuti adat. Jika suku Asmat Papua, lelakinya pakai koteka, dan perempuannya rumbai...?

Sedangkan kelompok yang menganggap berjilbab dan pakai cadar adalah pakaian agama, maka wanita muslimah wajib berhijab, bartutup kepala. Dasar pemikiran ini adalah, bahwa sebelum Islam, wanita arab itu pakaiannya sesuka hati. Ada yang menutup kepala, ada yang memperlihatkan keindahan rambutnya, ada yang memperlihatkan leher dan dada bagian atas, ada yang memperlihatkan betisnya yang berbinggel, dan lain-lain.

Lalu islam datang dan Rasulullah SAW - dengan bimbingan wahyu - menunjuk pakaian wanita muslimah, yaitu menutup seluruh anggota badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan kedua telapak tangan yang dikecualikan ini bukan berarti harus dibuka, melainkan boleh dibuka, apalagi karena ada hajat tertentu, seperti mengenali identitas saat wanita dilamar.

Untuk itu, jilbab, cadar, burqah, niqab, adalah pakaian "desain" Rasulullah SAW sekaligus syari'ah agama. Rasullullah SAW-lah yang memerintahkan wanita mukminah berpakaian macam itu, di mana sebelumnya wanita arab berpakaian bebas-bebas saja. Ya, sebagian para syarifah, wanita terhormat memang ada yang disiplin, tapi itu tidak mentradisi.

Setelah ayat-ayat tentang hijab, tutup aurat turun, maka para wanita mukminah di seantero kota Madinah semuanya bertutup aurat, dan warna hitam menjadi pilihan publik. Hal itu karena warna hitam adalah warna gelap yang paling mampu mengelabui apa yang ditutupi.

Bertutup badan ini disponsori oleh semua ummahat al-mukminin, para istri nabi, baik yang muda, apalagi yang tua. Saking maraknya wanita mukminah berpakaian hitam dan bercadar, hingga timbul ideom "gagak-gagak hitam keluar dari sarangnya". Yang dimaksud adalah para wanita mukminah keluar rumah menuju tempat tertentu. Inilah pakaian wanita mukminah yang waktu itu sungguh beda dengan pakain wanita non muslimah.

Bila kita membaca sirah nabawiyah terkait keluarga Nabi yang rapi metutup aurat, di sana ditemukan betapa Fatimah bint Rasulillah SAW adalah cewek yang paling disiplin menutup seluruh anggota badannya. Fatimah Rasulillah putri, selain dikenal sebagai bunga kota Madinah, dia juga dikenal sebagai wanita pandai ber-fashion, serta sangat bagus menutup semua badannya, hingga tidak mudah dibedakan, mana badan bagian depan dan mana pula yang belakang.

Data pendukung bahwa cadar adalah pakain desain Rasulullah SAW dan bukan murni pakaian tradisi pakaian wanita jazirah arab, antara lain:

Pertama, lihat wanita Mesir yang umumnya mempunyai rambut indah, hitam, dan ikal mempesona. Mereka mahir dalam dunia salon dan bisa mengganti model rambut beberapa kali dalam sehari. Kasus Zulaikha yang merayu nabi Yusuf cukup sebagai bahan angan. Sedemikian banyak dan hebatnya ulama' Mesir sekarang, banyak perguruan tinggi islam berkelas dunia, tapi hingga kini tidak bisa menghentikan tradisi tari perut yang penarinya berpakaian setengah telanjang.

Kedua, sebelum ayat hijab turun (ayat tentang persinggungan pria dan wanita bukan mahram), para istri nabi masih sering keluar rumah dengan pakaian sewajarnya. Termasuk saat buang air besar di luar rumah, di padang pasir terdekat. Hal itu karena tidak ada rumah yang punya WC di dalam, termasuk rumah nabi SAW. Mereka buang air besar pada malam hari.

Kedua, pertunjukan qaniyah, artis penyanyi dan penari perempuan masih bebas ditonton oleh para sahabat. Makanya, saat penyambutan Nabi datang di Madinah (hijrah), para gadis menabuh rebana dan bernyanyi. Tidak sedikit yang bergoyang gembira dengan pakaian seperti biasa. Masih dikenali sebagai dia seorang perempuan nyata, si A, si B, si C, dan seterusnya, karena tidak tertutup seluruh badan. Dan Nabi diam. Tapi setelah ayat hijab turun, tidak satu pun ada pertunjukan macam itu, sama sekali.

Ketiga, bahkan pakaian pelacur tidak jauh beda dengan pakaian kebanyakan wanita baik-baik. Diriwayatkan, bahwa seorang sahabat penghuni suffah, santri emperan masjid Nabawi tertarik ingin menikahi seorang pelacur. Meski tak jadi karena tidak diizinkan Nabi.

Dengan data di atas, perlu dikaji ulang, benarkah bahwa cadar itu pakaian tradisi wanita arab. Andai itu tradisi, tapi setelah ditunjuk dan ditetapkan oleh agama sebagai pakaian agama, lalu jadinya apa? Kembali ke pesan ayat kaji, bahwa orang beriman, orang berilmu akan menetapkan itu pakaian agama.

Memang agama itu mengapresiasi tradisi, sekaligus mengoreksi. Semua syariah agama, lelakinya ya begitu. Tapi pilihan akhir itulah agama, bukan tradisi lagi. Kita tahu bahwa syari'ah qurban adalah tradisi. Tradisi kabilah Jurhum yang hidup di sekitar Ka'bah zaman nabi Ibrahim dulu adalah mengorbankan anak manusia.

Nabi Ibrahim A.S., sesuai tradisi, sekaligus merupakan perintah Tuhan, termasuk orang yang melakukan pengorbanan itu dengan menyembelih Ismail, anak kandungnya. Tapi akhirnya Tuhan mengoreksi dan mengganti Ismail dengan seekor domba. Jadinya, syariah berqurban adalah pakai hewan ternak hingga kini, dan bukan anak manusia lagi.

Sangat mengherankan, seorang wanita mukminah ingin melindungi diri dari api neraka, serius menjaga diri dari fitnah, membungkus diri agar tidak menjadi penyebab gairah seksual pria nakal dengan cara bercadar.

Sungguh, sejatinya suara nafsu mereka tidak suka. Ya, karena berjilbab, bercadar, itu ribet, ongkep, sumuk, pengap, dan sebagainya. Tapi mereka rela melakukan demi menggapai ridla ilahi, lho kok malah dilarang, dicurigai, dituduh radikal, tidak punya kearifan lokal, dan lain-lain. Sementara wanita yang membuka auratnya, merangsang dan menimbulkan fitnah dibiarkan.

Sesungguhnya orang yang beriman sungguhan itu siapa? Apakah orang yang mengikuti sunnah Rasulillah SAW dengan menganjurkan bercadar, atau orang yang melarang cadar dan membiarkan wanita setengah telanjang di depan umum?

Sikap tafsir aktual ini memilih, bahwa berhijab, bercadar, adalah pakain wanita mukminah yang mesti dipatuhi.

Jika yang melarang wanita mukminah pakai cadar, menutup wajah, itu orang kafir atau orang tak berilmu, maka penulis maklum. Tapi kalau orang yang melarang itu orang islam, orang berilmu, mengerti syariah agama, maka sangat mengherankan. Ada apa dengan keimanannya?

Bukankah secara umum, semua mazhab, baik Hanafi, Maliki, Syafi'iy, Hambaly menyatakan demikian? Perkara rincian selanjutnya bisa dilihat di kitab-kitab fiqih.

Mazhab-mazhab ini masih dianut di kalangan umat islam, utamanya warga NU. Semua kitab fikih mazhab syafi'iy yang diajarkan di pondok pesantren, semuanya mengatakan bahwa aurat wanita di luar shalat adalah seluruh anggota badan, termasuk bercadar. Kecuali saat shalat, maka wajah dan kedua tapak tangan dibuka. Senada dengan shalat adalah saat berihram.

Jika bercadar dilarang, maka kitab fikih klasik seperti Fathul Qarib dan lain-lain yang mendoktrin syariah cadar harus dilarang diajarkan di pondok pesantren. Ya, karena itu sumbernya. Jangan sepihak, orang yang diduga teroris, jika ditemukan dokumen atau majalah atau selebaran yang diduga terkait dengan radikalis saja dirampas semua dan dijadikan sebagai barang bukti di pegadilan.

Tanyakan kepada orang yang memakai helm secara total dan tertutup, untuk apa? Jawabnya pasti untuk keamanan, melindungi kepala dari benturan yang membahayakan. Maka, memakai helm hukumnya wajib menurut fikih lalu lintas. Pelanggarnya dinyatakan bersalah, diadili, dan ditilang.

So, sebagai seorang wanita beriman, apakah tidak lebih wajib melindungi kepala dari siksaan api neraka nanti? Helm tidak dilarang, meskipun helm sering dipakai bajingan dalam melakukan kejahatan. Dan, wanita mukminah bukanlah penjahat.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video