Tafsir Al-Kahfi 16: Musyrik itu Tradisi (?) | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Kahfi 16: Musyrik itu Tradisi (?)

Editor: Redaksi
Rabu, 13 Mei 2020 22:51 WIB

Ilustrasi berhala. foto: Busy

Bedanya, kalau Fir'aun memaksakan rakyat menyembah dirinya, sedangkan Isa A.S. justru menolak dirinya disembah. Kesamaannya, antara Fir'aun dan Isa A.S. sama-sama manusia yang dilahirkan lewat rahim ibu. Sedangkan kesamaan antar pemeluknya, mereka sama-sama manusia yang menyembah manusia dan sama-sama mati semuanya.

Dan terbacalah, bawa ashab al-kahfi ini dulunya juga penyembah Allah SWT dan penyembah selain-Nya. Lalu Allah SWT memberi hidayah kepada mereka, sehingga mampu melepas total sesembahan yang selain Allah, dan hanya Allah SWT saja yang dipilih sebagai Tuhan satu-satunya, lain tidak.

Ayat ini memberi pelajaran kepada kita, bahwa tradisi itu tidak mesti baik, lalu dilestarikan. Justru harus dikoreksi, harus diubah, dan wajib ditinggalkan bila berlawanan dengan agama. Untuk itu, studi agama versus budaya menyajikan tiga pendekatan:

Pertama, Tahmil (akomodatif). Artinya, budaya atau tradisi yang cocok dengan agama, maka diapresiasi, diambil sebagai sesuatu yang bagus yang mesti dilestarikan. Malahan agama menggunakannya sebagai rujukan masalah tertentu. Semisal besaran nafkah kepada istri.

Al-Qur'an hanya menyatakan secara umum. Bagi suami yang kaya, maka memberi nafkah seukuran orang kaya. Dan bagi yang miskin, seukuran orang miskin. Ya, tapi berapa? Pedomannya disesuaikan pribadi dan kepantasan masing-masing dengan merujuk tradisi daerah setempat. Atau seperti tradisi sedekah desa. Di desa tertentu masih ada tradisi sedekahan secara massal dengan tujuan menyantuni mereka yang membutuhkan, atau menolak balak.

Kedua, taghyir (korektif). Tradisi yang kurang atau tidak sesuai dengan agama, sebisanya dikoreksi dengan tetap memelihara esensinya. Seperti tradisi sedekah yang disajikan di pepunden atau tempat sesembahan atau di bawah pohon angker tertuju kepada Dayang atau Sing Baurekso. Para kiai dulu mengubahnya secara perlahan dan dialihkan ke masjid. Sang imam, kiai atau ustadz mesti arif dan mengalihkan. Dari yang semula dipersembahkan kepada Dayang kemusyrikan, menjadi hanya kepada Allah SWT saja.

Ketiga, Tathrid (penetratif, penolakan). Tradisi yang bertentangan dengan agama dan hingga tidak bisa direka atau diarahkan sesuai agama, maka wajib ditolak dan dibuang. Larung sesaji, meski arahnya sedekah laut, tapi karena dipersembahkan kepada Dewa Laut (bukan Allah) dengan membuang kepala sapi, makanan ke laut secara mubadzir, maka harus dihentikan. Tidak bisa dengan alasan memberi makan ikan di laut, karena tidak jelas. Lebih jelas disedekahkan kepada fakir dan miskin yang sudah nyata. Allah a'lam.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video