Sesajen Dalang Purbo Asmoro: Setan Tidak Makan Buah-buahanw | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sesajen Dalang Purbo Asmoro: Setan Tidak Makan Buah-buahan

Editor: MMA
Selasa, 16 Februari 2021 06:57 WIB

Dahlan Iskan. Foto: ist

SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Ilmu pengetahuan yang luas dan jaringan yang luas membuat Dahlan Iskan tahu banyak hal dan menulis banyak hal. Maka jangan heran, jika kali ini wartawan kawakan itu menulis tentang kondang: Purbo Asmoro. Dalang yang punya kemampuan intelektual tinggi.

Yang menarik tentu bukan cuma sosok Purbo Asmoro, tapi juga lesunya pertunjukan akibat covid-19 yang berakibat lesunya ekononomi para pemainnya. Itulah yang mebuat ia sedih.

Namun sebagai seniman ia tetap ingin men. Meski sendirian. Di rumahnya. Itulah yang kemudian ia lakukan. Persis pertunjukan wayang resmi.

Namun kreativitas kadang muncul saat manusia buntu dan sumpek. Purbo Asmoro kemudian menemukan ide baru: . Lewat streaming, YouTube.

Tapi ada yang mengusik. Kenapa bawa segala. Termasuk saat sendirian. Apa gak syirik, tuh? Wah, kelompok agama aliran keras bisa gaduh tuh.

Nah, silakan baca tulisan Dahlan Iskan pagi hari ini, Selasa (16/2/2021), dimuat di Disway. Juga HARIAN BANGSA, koran terbitan Surabaya yang beredar di seluruh Jawa Timur dan sebagian di Jawa Tengah. Di bawah ini, BANGSAONLINE.com, menurunkan lengkap tulisan wartawan yang mantan menteri BUMN itu. Selamat membaca:

"BANYAK mana? Yang kelaparan atau yang kena Covid?"

"Banyak yang kelaparan".

"Banyak mana, yang kehilangan pekerjaan atau yang kena Covid?"

"Banyak yang kena Covid". "Banyak mana, seniman yang nganggur atau orang yang kena Covid?"

"Lebih banyak seniman yang nganggur".

Itulah dialog antara dan kru yang mengiringi pergelaran nya. Sang saat itu sudah siap di depan kelir. Penabuh gamelan sudah di depan alat musik masing-masing. Para sinden (penyanyi) sudah duduk berjajar dengan pakaian Jawa.

Nama itu: Purbo Asmoro. Dari . Kelahiran Pacitan.

"Pilih dapat bantuan atau pilih ada yang mengundang show?" tanya Ki Dalang lagi.

"Pilih ada yang undang show!" jawab mereka serentak.

"Kalau begitu, ayo dimulai," ujar Ki Purbo Asmoro.

Gamelan pun dibunyikan. Pesinden mengalunkan lagu. Tangan kiri Ki Dalang mulai mengetukkan bunyi penanda. Telapak kaki kanannya mulai membunyikan kepyak. Tangan kanannya memegang gunungan.

Pertunjukan pun dimulai.

Tidak ada yang menonton.

Ups... ada! Yang menonton adalah mereka yang mengikuti live streaming pertunjukan malam itu. Juga yang mencarinya di YouTube.

Itulah virtual.

Untuk mengatasi keadaan yang sangat berat.

Selama pandemi - memang nganggur. Para wiyogo (penabuh gamelan) tidak ada pekerjaan. Sinden-sinden pun tidak ada kesempatan membuka mulut.

Tapi begitu ditemukan jalan virtual ini mereka seperti mulai ''hidup lagi''.

Tiga bulan pertama pandemi suasananya seperti tanpa harapan. Yang ada sedih dan sedih. "Sejak ada wajah-wajah kami seperti mulai dialiri darah lagi," ujar Purbo Asmoro.

Purbo termasuk yang laris di kanal YouTube. Lakon ''lahirnya Bagong'', misalnya, ditonton sampai 160.000 orang. Jauh lebih banyak dibanding penonton show sebelum pandemi.

Saya, belakangan, termasuk sering membuka YouTube Purbo Asmoro. Mula-mula karena ditegur pembaca Disway. Yakni setelah saya menulis panjang tentang Seno Nugroho. Yang begitu larisnya. Yang saat anggap Seno lah marketer of the year. Yang meninggal dunia belum lama ini.

"Tapi menurut saya, terbaik saat ini adalah Purbo Asmoro," ujar pembaca itu.

Saya pun mencari cara agar bisa terhubung dengan Ki Purbo. Tersambung. Kemarin. Ayahnya ternyata juga . Baru meninggal 100 hari yang lalu. Sampai usia hampir 80 tahun sang ayah masih men. Khususnya untuk ruwatan. Kakek Purbo Asmoro pun juga . Pun canggahnya, juga . Mereka berasal dari desa paling pojok barat Pacitan –guyonnya, sudah dekat dengan Australia Barat.

Sang ayah menyekolahkan Purbo ke . Ke SMA khusus kesenian –jurusan karawitan dan pean. Lalu kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) di sampai S-1. "Ayah saya ingin anaknya tidak sekadar bisa men, tapi juga tahu ilmunya," ujar Purbo Asmoro.

Beberapa kali saya telepon Ki Purbo. Yang usianya kini sudah hampir 60 tahun. Tinggalnya di pinggiran utara kota . Yakni di sebuah rumah dengan halaman luas. Dengan gerbang yang bagus. Dan di seberang rumah itu masih ada tanah miliknya. Di situ mobil-mobilnya parkir. Termasuk dua mobil Fiat tahun 1950-an yang mesinnya sudah diganti baru. Rupanya ia penggemar mobil kuno.

Di pekarangan itu juga diparkir ''kendaraan khusus'' miliknya –mirip kendaraan di zaman pewayangan: kreto. Yakni kereta seperti yang dimiliki kerajaan-kerajaan masa lalu.

Tapi itu kereta baru. Dibuat sendiri 8 tahun lalu. Dari kayu jati. Termasuk jari-jari rodanya. Penampilannya dibuat seperti kereta kuno.

Sesekali Purbo Asmoro berangkat men dengan naik kereta itu. Yang ditarik dua ekor kuda –bukan 8 kuda seperti di lakon wayang. Jalannya pun pelan. Harus bersaing dengan sepeda motor, bendi, dan mobil. Tidak bisa sekencang seperti di wayang –yang digambarkan sampai rodanya mengambang lima inci di atas tanah.

Sejak pertama live streaming, sampai tulisan ini dibuat, sudah 30 lakon di-upload ke YouTube. Lewat channel Purbo Asmoro official.

Ki Purbo sendiri tidak hanya mengandalkan kehidupan dari men. Sehari-hari ia dosen di ISI –almamaternya dulu. Karena itu terlihat sekali intelektualitasnya.

Ia juga menjadi yang tidak mau dipanggil show setiap malam. "Saya harus memikirkan kesehatan saya," katanya. Men itu pekerjaan satu malam suntuk. Kalau sebulan 30 hari bisa merusak kesehatan. Juga merusak kehidupan rumah tangga yang normal.

Ia termasuk yang rumah tangganya dijaga dengan baik. Ia yang hidupnya sangat tertib –sebagai suami dan ayah.

Anak kedua Ki Purbo juga sudah bisa men. Tapi masih belum mau tampil di publik. Ia baru lulus ISI .

Setelah menonton banyak penampilannya, saya setuju Ki Purbo sangat menonjol dari segi sastra. Intelektualitasnya dan kesastrawanannya terlihat di kalimat-kalimat yang bersastra di pementasannya. Tapi itu juga membuat Ki Purbo terasa sangat ''priayi''. Humor-humornya intelek. Tidak bisa sebebas dan senakal seperti Seno Nugroho. Dialog-dialog antar-tokohnya juga bisa dianggap kurang ''liar''. Kurang bisa menyatu dengan penonton masa kini.

Tapi itulah memang Ki Purbo. Yang sosoknya juga sangat priayi. Yang mungkin ia-lah kini menjaga lengkap dengan warna sastranya.

Saya lagi mencari buku yang ditulis peneliti Amerika Serikat dua tahun lalu. Peneliti itu, Kathryn Emerson, menulis buku tentang Purbo Asmoro.

Kathryn, asal Michigan, kini bergelar doktor. Dia mempelajari gamelan Jawa di . Bahkan sampai bisa ngendang –membunyikan kendang, instrumen tersulit di gamelan.

Kathryn rupanya jatuh cinta ke instrumen kendang –kemudian jatuh cinta pula ke pria di belakang kendang tersebut: Wakidi Dwijo Martono. Dia pun kawin dengannya. Kini Kathryn bekerja di Jakarta. Setelah pensiun nanti akan menetap di .

Saya sudah berkomunikasi dengan Kathryn. Dia lagi sibuk mengerjakan penerjemahan pertunjukan ke dalam bahasa Inggris. Dengan demikian akan ada teks Inggris di layar YouTube kelak. Yang diterjemahkan oleh orang yang sangat mengerti wayang dan sangat –tentu saja– menguasai bahasa Inggris.

Sesekali Kathryn ikut menjadi sinden di pementasan Ki Purbo atau Seno Nugroho.

Ki Purbo sudah pernah pula ke kampung Kathryn di Michigan. Ia men di sana –di dalam gedung. Sudah berkali-kali Ki Purbo pentas di Amerika. Di berbagai kota di sana. Ia juga pernah pentas di Inggris, Austria, Jepang dan banyak negara lainnya.

Kesenimanan Ki Purbo juga terlihat dari bagaimana ia menyikapi Covid. Ketika berkerumun dilarang. Jarak harus dijaga. Tinggal pun di rumah saja.

Di awal pandemi itu Ki Purbo kelihatan sedih sekali. Terutama ketika melihat begitu banyak yang ikut menggantungkan hidup padanya.

"Mengapa terjadi pandemi. Kapan pandemi berakhir". Pertanyaan itu mengusik batinnya. Maka kesenimanan Ki Purbo muncul. Ia ingin men. Di rumahnya. Sendirian. Tanpa gamelan. Tanpa sinden. Tanpa siapa-siapa.

Betapa sepinya.

Betapa sunyinya.

Betapa mengiris-iris hatinya.

Malam itu Ki Purbo tetap mengenakan pakaian . Lengkap dengan blangkon dan kerisnya. Resmi sekali. Seperti layaknya akan pentas besar. Bahkan ia juga membawa . Dengan tokoh wayang Betari Durga yang dibungkus kain putih.

Ia sadar adegan sesaji itu bisa dikecam kalangan agamawan garis jingga. Maka ia jelaskan: itu bukan untuk dipersembahkan kepada setan. "Setan tidak makan buah-buahan," katanya.

Sesajen itu ia maksudkan sebagai rasa syukur. Bahwa di tengah pandemi ia masih hidup. Masih segar. Masih bisa men.

Meski harus sendirian.

Men itu harus mengerjakan banyak tugas: tangannya, kakinya, mulutnya dan bibirnya. Malam itu Ki Purbo masih menambah satu pekerjaan lagi untuk dirinya. Ia taruh alat musik ''gender'' di depannya –instrumen yang juga sulit. Ia akan men sambil menggender. Juga sambil menabuh gendang –suara gendang itu diwakili suara di mulutnya.

Kalau tidak ada pandemi tidak mungkin ada melakukan itu. Saking inginnya tetap berkarya di masa pandemi Ki Purbo melakukan apa pun yang mungkin dilakukan.

Kehadiran gender itu ternyata sangat mewarnai. Tapi Ki Purbo harus membagi tangannya. Kapan menggerakkan wayang, kapan menabuh gender.

Saya begitu terharu melihatnya di YouTube.

Malam itu Ki Purbo memainkan lakon ''Sudomolo''. Hanya ada satu orang ''lain'' di situ. Yakni anaknya nomor dua. Yang memegang kamera. Untuk live streaming.

Lakon ''Sudomolo'' sendiri dipilih karena kontekstual: itu adalah doa dari Ki Purbo agar pandemi segera lenyap.

Itu dilambangkan tokoh Betari Durga di lakon itu. Yang asalnya adalah bidadari cantik di alam kedewaan. Karena berbuat jahat dia jadi raksasa wanita yang buruk. Dia juga jadi pembawa segala bencana di alam dunia.

Setelah puluhan tahun menjalani hidup sebagai raksasa, Durga ingin kembali menjadi bidadari. Agar dunia bisa kembali tenteram. Satu-satunya yang bisa ''meruwat'' Durga adalah si bungsu Pandawa, Sadewa.

Maka berkat kesakitan Sadewa, Durga pun bisa kembali jadi bidadari yang cantik.

"Itu lakon kreasi Anda sendiri atau sesuai dengan pakem pewayangan?" tanya saya.

"Itu ada di kitab sastra Sudomolo karya sastrawan Agung Prof Dr Raden Mas Purbatjaraka," ujar Ki Purbo. Yang lahir tahun 1884.

Tanpa gamelan dan sinden, seorang ternyata tetap bisa tampil mengharukan. Hanya saja ketika adegan perang memang terasa tidak serunya. Sepo.

Apa pun, setidaknya pandemi telah memaksa segala macam kreasi terlahirkan.

Lalu jadilah kehidupan baru: virtual. Dalang YouTube. Dengan penonton puluhan sampai ratusan ribu orang.

Dulu seorang hanya mengenal dunia mayapada. Kini mereka harus men di dunia maya. (*)

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video