Tausiyah Kebangsaan, KH Marsudi Syuhud: Pancasila Hasil Musyawarah Muktamar NU 1936 | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tausiyah Kebangsaan, KH Marsudi Syuhud: Pancasila Hasil Musyawarah Muktamar NU 1936

Editor: Revol Afkar
Wartawan: Muji Harjita
Senin, 14 Juni 2021 14:42 WIB

Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Dr. KH. Marsudi Syuhud, M.A. saat memberikan tausiah. foto: ist.

KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Pondok Pesantren Wali Barokah, Kota Kediri, yang menjadi mitra strategis (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) menggelar tausiyah kebangsaan dalam rangka pembekalan pengurus organisasi dan pembekalan kelembagaan , Minggu (13/6).

Sebagai narasumber utama adalah Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Dr. KH. Marsudi Syuhud, M.A. yang didampingi Wakil Sekjen DP MUI Arif Fahrudin M.Ag., Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan DP MUI Prof. Dr. H. Firdaus Syam, M.A., dan Sekretaris Dr. Ali Abdillah.

Acara tausiyah kebangsaan tersebut diikuti lebih dari 5.000 orang yang terdiri para ulama dan para pengurus , serta perwakilan dari MUI di provinsi dan kabupaten/kota.

kebangsaan ini penting dalam kondisi keumatan yang menghadapi masalah yang kompleks dan multidimensi, kami membutuhkan pencerahan,” ujar Pimpinan Pondok Pesantren Wali Barokah, Drs. KH. Soenarto, M.Si.

Sebagai pondok pesantren yang diamanati DPP untuk menghasilkan juru dakwah, KH Soenarto menilai posisi Pondok Pesantren Wali Barokah sangat strategis. “Maka para juru dakwah itu perlu dibekali ilmu agama yang kaffah, dan wawasan kebangsaan yang kuat dan mantap,” terangnya.

Sementara itu dalam sambutannya, Ketua Umum DPP Ir. KH. Chriswanto Santoso, M.Si. mengemukakan pentingnya menjalin silaturahim. Dengan silaturahim itu, para tokoh agama bisa turut memikirkan bangsa dan negara sebagai kontribusi untuk menjadikan Indonesia negeri yang makmur penuh rahmat dari Allah.

ini jadi penting untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, agar ukhuwah wathoniyah juga kuat, dan ketiga ukhuwah basariyah terjaga. Para pendiri bangsa mendirikan negeri ini atas perbedaan yang tak bisa dihindari, dan para ulama menjadi motor penggerak perjuangan. Dari perbedaan itu, justru kita menyatu,” ujarnya.

Chriswanto juga memberikan paparan tentang kemajuan teknologi di tengah era digital ini. Dampaknya, internet mempermudah lalu lalang informasi. Namun, teknologi itu juga mempermudah fitnah menyebar.

“Digitalisasi memungkinkan menulis atau mengubah suara menjadi saya, padahal pesan-pesannya bukan dari saya. Ini bisa mendatangkan fitnah dan perpecahan umat,” imbuhnya seraya mengingatkan, bahwa para pendiri membentuk bertujuan untuk berkontribusi kepada umat, bangsa, dan negara secara positif.

“Kami memiliki delapan program kerja yang diselaraskan dengan program nasional, agar menjadi solusi. harus mendukung bangsa dan negara dan memberi solusi terutama masalah kebangsaan. Bila Indonesia goyang, turut ikut sempoyongan,” terang Chriswanto Santoso.

Sedangkan KH Marsudi Syuhud dalam tausiahnya menekankan pentingnya keterhubungan antar manusia, baik itu secara rohani, pikiran, amaliyah, dan berbagai hal lainnya.

"Ketika semuanya nyambung, keberkahan itu hadir. Sudah dicontohkan Rasulullah SAW dalam membangun negara kecil bernama Madinah, yang tertuang dalam Piagam Madinah. Rasulullah mendirikan negeri Madinah sebagai negara untuk menyambung, mengikat masyarakat di dalamnya untuk hidup bersama meskipun tidak satu agama," paparnya.

"Islamnya saja ada golongan Muhajirin ada Ansor, ada Yahudi, Nasrani, dan Majusi yang bukan agama samawi. Dari beragam agama itu diikat untuk menyatukan perbedaan," imbuh KH Marsudi Syuhud.

"Sebagai penyatu perbedaan, Rasulullah memiliki kemampuan yang mumpuni sebagai hakim, jenderal ketika perang, hingga mengurus ketertiban. Bahkan Rasulullah sampai mengurusi akhlak," ujarnya.

Pada kesempatan ini, KH. Marsudi Syuhud juga menegaskan sebagai dasar negara atas hasil musyawarah pada Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1936. "Berangkat dari musyawarah itulah lahirlah dasar negara," ujarnya.

"Jadi bila ada yang bertanya pilih Alquran atau , itu sama halnya menanyakan bumbu pecel tumpang atau pecel tumpang, bakso atau buletan bakso," katanya.

"Artinya, itu terdapat dalam Alquran. Maka tugas pemerintah adalah menyambungkan hukum yang tetap berupa Alquran dan Sunnah ke dalam aturan-aturan, demi kemaslahatan umat. Alquran dan Sunnah itu hukum yang tetap, sementara masalah terus tumbuh dan berkembang, maka pemerintah tinggal membuat aturan untuk kemaslahatan. Lampu lalu lintas tidak ada dalam Alquran dan Alhadits, namun karena maslahat untuk umat manusia, maka itu sudah memenuhi aturan yang syariah," terangnya. 

Ia kemudian mengambil contoh mengenai wabah Covid-19. "Rasulullah menyuruh kita waspada dan lari sebagaimana waspada terhadap singa. Maka aturan turunannya ya lockdown dan bansos. Negeri ini tentu ada kekurangannya, maka kekurangannya yang diperbaiki bukan membubarkan negerinya," ujarnya.

Ia menekankan konteks hubungan negara dan agama terdapat dalam tiga hal. Pertama, negara harus mampu membuat hubungan antara hukum tetap (Alquran dan Alhadist) dengan produk undang-undang yang dihasilkan negara. "Aturan yang dibuat negara harus bermanfaat dan mengurangi kemaksiatan atau kekacauan," tandasnya.

Kedua, bernegara itu harus bisa menyatukan maslahat umum dan individu. "Contohnya pajak, hasil pajak bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun adakalanya masyarakat dalam kondisi tak mampu bayar pajak, maka aturannya diubah bisa afirmasi atau tax holiday," ujarnya lagi.

Dan yang ketiga, menyatukan atau merukunkan kepentingan materi dan rohani. "Saat negara memperbolehkan salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya bahkan mengurusinya maka sudah syariah. Meskipun bakal ada tabrakan antara syariah dan maksiat, misalnya ada korupsi bantuan sosial, maka korupsinya dibasmi bukan bantuan sosialnya yang dihilangkan," tukasnya. (uji/rev)

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video