Pembunuhan Massal di AS, Ada yang Cari Sensasi, Ada yang Kecewa pada Tenaga Medis

Pembunuhan Massal di AS, Ada yang Cari Sensasi, Ada yang Kecewa pada Tenaga Medis Dahlan Iskan di lahan gandum di Amerika Serikat (AS).

JAKARTA, BANGSAONLINE.com Jiwa rakyat (AS) semakin banyak yang gersang. Akibatnya frustrasi dan melampiaskan dengan membunuh orang lain. Bahkan mereka membunuh dokter yang mengobati mereka.

Benarkah? Simak tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com pagi ini, 4 Juni 2022. Selamat membaca:

PASIEN itu marah. Ia pergi ke toko senjata: membeli senjata semi otomatis AR-15.

Tiga jam kemudian ia sudah sampai di rumah sakit –tempatnya dioperasi sebulan yang lalu. Ia juga membawa pistol yang ia beli 3 hari sebelum membeli AR-15.

Ia masuk ke rumah sakit itu: Dor! Amanda Glenn terjerembap. Dia tenaga medis di ruang depan rumah sakit. Tewas.

Pasien itu masuk ke ruang pemeriksaan. Nama si : Michael Louis. Di ruang itu ada dr Priston Phillips, super spesialis ortopedi. Dor! Dokter Phillips roboh. Meninggal dunia. Dor! Dokter Stephanie Husen terjerembap. Dia juga super spesialis ortopedi. Kulit putih. Penuh darah wanita. Tewas.

Mendengar bunyi tembakan di dekatnya, William Love, seorang pengantar , menutup pintu lorong. Agar jangan ada orang masuk ke arena penembakan. Dor! Love meninggal dunia di dekat pintu itu.

Istri Love selamat. Hari itu Love mengantar istri berobat. Ia telah menyelamatkan sang istri dengan nyawanya.

Adegan ala cowboy itu terjadi di RS Warren Clinic, di lantai 2 gedung Natalie Building Hospital. Di kota Tusla –kota terbesar kedua di negara bagian Oklahoma –tetangga utara . Kemarin malam WIB.

Saya sudah lama tidak ke Tusla. Tidak bisa membayangkan di sebelah mana RS itu. Sewaktu ke Oklahoma terakhir saya tidak mampir Tusla. Saya langsung ke Amarrilo, .

Penembakan masal terus terjadi susul-menyusul di Amerika. Kejadian di Tusla ini hanya seminggu setelah penembakan masal di Uvalde, : 19 siswa SD tewas oleh remaja bersenjata, Salvador Ramos. Ditambah dua orang guru di situ.

Motif penembakan di RS Tusla ini, menurut harian Oklahoma, tidak puas. Si kecewa pada dr Phillips. Sakitnya tidak sembuh –sakit tulang belakang.

Louis menjalani operasi tulang belakang sebulan lalu. Yang mengoperasi dr Phillips –ahli ortopedi terkemuka di Oklahoma. Kulit hitam. Ia juga aktivis kemanusiaan. Ia selalu jadi panitia peringatan pembunuhan masal terhadap orang kulit hitam di Tusla. Ia juga tergabung dalam dokter olahraga ternama.

Louis juga kulit hitam. Baru dua minggu lalu Louis boleh meninggalkan rumah sakit. Itu berarti dua minggu pula Louis rawat inap pasca operasi.

Louis mengeluh sakitnya tidak sembuh. Itu terbaca dari surat tertulis yang ditemukan di pakaiannya. Hari itu ia pakai jaket besar. Ia datang ke RS dengan penuh kesadaran: ingin membunuh dr Phillips. Ia telah berkali-kali menyampaikan keluhannya itu. Tidak kunjung sembuh. Ia tidak sabar. Baru dua minggu. Ia ambil jalan pintas.

Kurang dari tiga menit setelah penembakkan pertama, polisi sudah tiba di rumah sakit. Bahkan polisi masih sempat mendengar bunyi tembakan terakhir: tembakan bunuh diri Louis.

Pasien tembak dokter seperti itu mengingatkan kejadian setahun lalu: seorang datang ke klinik membawa bom. Dan senjata. Lima wanita di ruang depan ia tembak. Satu meninggal, empat kritis.

Pelakunya, Gregory Ulrich, 68 tahun. Ia sudah divonis dewan juri kemarin pagi WIB. Gregory dinyatakan bersalah. Tinggal hakim memutuskan bentuk hukumannya: kemungkinan seumur hidup.

Pasien itu ngamuk juga akibat penyakit di tulang belakang. Awalnya Gregory jatuh dari scaffolding. Yakni saat bekerja. Itu tahun 1977. Ketika Gregory baru berumur 22 tahun.

Ketika ke dokter, Gregory sudah diingatkan: kalau tidak dituntaskan dengan baik, ia akan mengalami kelumpuhan di masa tua. Akan terus berada di kursi roda.

Gregory merasa tidak separah itu. Ia pun hidup seperti orang normal. Ternyata dokter benar. Kian berumur Gregory kian menderita: tulang belakangnya sakit.

Sudah terlambat. Masih bisa dioperasi tapi tidak berhasil.

Gregory mengaku sudah mendatangi 50 ahli tulang belakang. Tidak teratasi. Ia selalu kesakitan. Satu-satunya jalan keluar: ia harus minum obat yang mengandung narkotika. Penghilang rasa sakit.

Tapi, belakangan, dokter tidak mau lagi membuatkan resep narkotika. Sudah berlebihan. Rasa sakit pun kumat lagi. Berkepanjangan.

Maka Gregory membeli pipa. Ia membuat bom. Tiga buah.

Pagi itu, ia naik bus kota menuju Allina Health Clinic. Lokasinya sekitar 50 Km di utara kota Minneapolis, Minnesota. Saya bisa membayangkan kawasan ini. Saya sering ke Minneapolis – St. Paul. Ada komunitas besar Vietnam di dekat situ. Juga ada Mall of America –yang terbesar di dunia.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO