Respons Ketua PBNU soal Tambang Raja Ampat, Gus Nadir: Jangan Halalkan Kezaliman Struktural

Respons Ketua PBNU soal Tambang Raja Ampat, Gus Nadir: Jangan Halalkan Kezaliman Struktural Prof KH Nadirsyah Hosen, Ph.D. Foto: ist

JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Intelektual muda NU Prof KH Nadirsyah Hosen, Ph.D - akrab dipanggil Gus Nadir - merespons pernyataan Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla soal tambang Raja Ampat yang kini mendapat sorotan dan kritik publik secara meluas. Guru besar bidang hukum yang mengajar di Monash University Austalia itu mengkritisi pernyataan Ulil yang dianggap telah menyederhanakan problematika yang kompleks.

“Pernyataan Ketua PBNU, Kiai Ulil Abshar Abdalla, bahwa penambangan adalah hal baik karena membawa maslahat, dan yang buruk hanyalah bad mining, tampaknya menyederhanakan problematika yang kompleks. Memang benar bahwa dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah, setiap aktivitas yang membawa kemaslahatan publik (maṣlaḥah ‘āmmah) dapat dibenarkan. Namun, penambangan bukan sekadar perkara teknis antara “baik” dan “buruk”, melainkan melibatkan soal ketimpangan struktural, kerusakan ekologis, dan pelanggaran hak masyarakat lokal. Selama hal-hal ini tidak diperbaiki, yang kita saksikan adalah bad mining. Dan selama hal-hal ini masih dibiarkan, maka tidak elok menormalisasi pertambangan dengan klaim normatif-abstrak,” tulis Gus Nadirsyah di akun pribadinya di platform X (dulu Twiter).

Gus Nadir adalah Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan Selandia Baru periode 2005 hingga akhir 2023. Kader muda NU yang dikenal berwawasan luas itu kemudian menjlentrehkan pernyataan Ulil.

Menurut Gus Nadir, ada empat masalah terkait pernyataan Ulil itu. Pertama, maslahat tidak berdiri sendiri. Gus Nadir mengutip pemikiran Imam Ghazali. Menurut dia, dalam al-Mustaṣfā, al-Ghazālī menegaskan:

فَالْمَصْلَحَةُ الْمُعْتَبَرَةُ هِيَ الَّتِي لَا تُعَارِضُ نَصًّا وَلَا إِجْمَاعًا

“Maslahat yang diakui (mu‘tabarah) adalah yang tidak bertentangan dengan nash atau ijma‘.”

(al-Ghazālī, al-Mustaṣfā, 1/286)

”Maka, jika suatu tambang terbukti mencemari lingkungan, merampas tanah adat, dan menghancurkan ruang hidup masyarakat, itu bukan maslahat yang mu‘tabarah, melainkan mafsadah (kerusakan). Tak semua yang menghasilkan uang dan devisa bisa otomatis disebut maslahat,” tegas Gus Nadir.

Kedua, ujar Gus Nadir, keadilan ekologis adalah syariat. Putra ulama kondang Ibrahim Hosen itu lalu mengutip ayat Al Quran. Menurut dia, Al-Qur’an memperingatkan:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”

(QS al-Aʿrāf: 56)

Menurut Gus Nadir, kerusakan ekologis akibat tambang berskala besar—baik yang berizin maupun liar—tak sekadar meninggalkan luka di permukaan tanah. Ia mencemari mata air, merusak ekosistem, dan mengusir masyarakat dari tanah warisan leluhur mereka.

“Dalam fiqh al-bī’ah (fiqh lingkungan), kehancuran semacam ini disebut fasād al-bī’ah—kerusakan lingkungan yang sistemik—dan merupakan bentuk khiyānah terhadap amanah kekhalifahan manusia di bumi yang diwasiatkan Allah,” tulis Gus Nadir.

Ketiga, tegas Gus Nadir, maslahat tak sah jika lewat kezaliman. “Pemisahan antara good mining dan bad mining terdengar menarik, tetapi gagal menjelaskan bagaimana mayoritas praktik tambang di Indonesia kerap sarat dengan pelanggaran etis, hukum, dan sosial,” kata Gus Nadir menyindir Ulil yang popular sebagai tokoh Islam Liberal di Indonesia.

“Bahkan perusahaan-perusahaan yang menyandang “izin resmi” banyak yang melanggar AMDAL, meminggirkan masyarakat adat, dan membungkam protes rakyat. Kiai Ulil tidak bisa menutup mata atas praktik semacam ini,” tegas Gus Nadir terang-terangan.

Dalam hal ini, ungkap Gus Nadir, prinsip dari al-ʿIzz ibn ʿAbd al-Salām menjadi sangat relevan. Ia menulis dalam Qawāʿid al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anām:

فَكُلُّ مَا أَدَّى إِلَى الظُّلْمِ وَالْجَوْرِ وَالْعُدْوَانِ فَهُوَ مَحْظُورٌ تَحْرِيمًا، وَكُلُّ مَا أَدَّى إِلَى الْعَدْلِ وَالإِنْصَافِ وَالإِحْسَانِ فَهُوَ مَطْلُوبٌ وَاجِبًا أَوْ نَدْبًا

“Segala sesuatu yang mengarah kepada kezaliman, keaniayaan, dan pelanggaran adalah hal yang diharamkan. Dan segala sesuatu yang mengarah kepada keadilan, keadilan sosial, dan kebaikan, maka ia adalah sesuatu yang dituntut, baik secara wajib maupun sunnah.”

(al-ʿIzz ibn ʿAbd al-Salām, Qawāʿid al-Aḥkām, 1/86)

”Artinya, kemasan maslahat tidak dapat menghalalkan kezaliman struktural. Maslahat yang menindas rakyat dan lingkungan adalah tipu daya moral, dan itu harus dilawan, setidaknya dengan suara moral para ulama,” tegas Gus Nadir lagi.

Keempat, Gus Nadir mempertanyakan penambangan di Raja Ampat itu maslahat untuk siapa?

Menurut Gus Nadir, jika “maslahat” hanya dinikmati segelintir elite politik, pejabat, dan pemilik saham, sementara rakyat kehilangan air bersih, tanah warisan, dan udara sehat—itu bukan maslahat, tapi penjajahan domestik. Dalam maqāṣid, kata Gus Nadir, maslahat harus berkelanjutan, adil, dan mencakup seluruh lapisan masyarakat.

Gus Nadir kemudian menyimpulkan bahwa pernyataan Ulil Abshar bahwa “tambang itu baik asal bukan bad mining” bisa menjadi justifikasi moral yang berbahaya jika tidak disertai evaluasi kritis terhadap praktik dan dampaknya.

“Kemaslahatan bukan cuma soal manfaat finansial, melainkan harus diuji melalui prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kemanusiaan,” tegas Nadirsyah Hosen.

Seperti diberitakan, Ketua PBNU KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) tercatat sebagai komisaris PT Gag Nikel di Raja Ampat. Publik pun heboh, terutama warga NU. Gus Fahrur sempat mengklarifikasi bahwa keterlibatannya sebagai komisaris di PT Gak Nikel tak ada kaitannya dengan PBNU.

Namun klarifikasi Gus Fahrul itu justeru semakin menimbulkan kegaduhan. Publik menilai sosok Gus Fahrur tak ada apa-apanya jika tak terkait dengan PBNU. Sebab Gus Fahrur bukan ahli tambang dan tak punya kapasitas apa-apa selain bidang agama. 

Pernyataan Gus Fahrur yang menyatakan bahwa lokasi penambangan nikel itu jauh dari lokasi wisata Raja Ampat semakin menunjukkan bahwa Gus Fahrur tak paham tentang ilmu lingkungan.

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan bantahan senada .

"Saya ini Ketua Umum PBNU, saya juga kiai pesantren dan sebagainya. Pak Ulil juga pengurus PBNU, dia juga punya warung di rumah. Jadi pengurus PBNU ini bisa macam-macam, jadi jangan heran ada pengurus PBNU ada yang jadi bisnisman, dan urusan bisnis dia itu bukan urusan PBNU," katanya di sela-sela jumpa pers di Lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Kamis (12/6/2025).

"Dia mau bisnis apa kek ini-itu, ini itu bukan urusannya PBNU, terserah dialah, masa kita (ikut campur). Pada intinya ya kalau soal pribadi sebebagai pengurus itu silakan tanya sendiri-sendiri," kata Gus Yahya dilansir NU Online.

Menurut dia, PBNU tidak pernah mengeluarkan rekomendasi atas pengurusnya untuk mengisi sebuah jabatan apa pun di berbagai tingkatan, baik swasta maupun pemerintahan.