
SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Terbakarnya Gedung Negara Grahadi menjadi tema dalam diskusi antara Dirintelkam Polda Jatim, Kombes Pol Nanang Juni Mawanto, dengan anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama atau yang akrab disapa Ning Lia.
Dari obrolan di kediaman Ning Lia, muncul dorongan perubahan aturan terkait lokasi demonstrasi, terutama dalam hal pembatasan bahkan pelarangan aksi di kawasan cagar budaya. Hal tersebut disampaikan Ning Lia pascadiskusi dengan Dirintelkam Polda Jatim.
Doktoral UINSA itu menjelaskan, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memang menjamin kebebasan warga untuk berdemonstrasi. Namun, regulasi tersebut juga memberi batasan lokasi, seperti larangan unjuk rasa di istana presiden, tempat ibadah, rumah sakit, hingga objek vital nasional.
Ning Lia menambahkan, aturan itu memang sudah mengatur larangan membawa benda berbahaya dan aksi pada hari besar nasional, namun belum secara tegas menyebut cagar budaya. Padahal, banyak kantor pemerintahan yang menempati gedung bersejarah sehingga berpotensi jadi sasaran jika tidak dilarang tegas.
"Meski, diksi objek vital nasional seharusnya juga mengacu pada cagar budaya, namun ternyata hal ini belum dipahami sebagai kesepahaman bersama," ujarnya.
Senator yang baru-baru ini meraih survei tertinggi tingkat popularitas dan kesukaan Wakil Rakyat di Jawa Timur versi Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) itu juga menyayangkan apabila monumen bersejarah tidak dilindungi oleh aturan yang tegas.
Ning Lia memberi contoh di negara lain, seperti Rumania, cagar budaya di pusat kota maupun pinggiran tetap terawat dan dijaga sebagai ikon bangsa. Fakta itu membuktikan faktor publik yang sangat menghormati bangunan bersejarah.
Sehingga menjadi sebuah konsensus atau pemahaman bersama untuk selalu merawat dan menjaga. Ataukah memang ada aturan yang tegas seperti larangan melakukan aksi demonstrasi di depan cagar budaya.
“Poinnya, jika upaya melindungi cagar budaya tidak bisa menjadi kesadaran umum, maka perlu intervensi pemerintah melalui perubahan aturan, yaitu dengan meletakkan diksi larangan demonstrasi di depan cagar budaya,” ucap putri tokoh NU, KH Maskur Hasyim, itu.
Dijelaskan olehnya, cagar budaya adalah saksi sejarah perjalanan bangsa dan sekali rusak, memori yang hilang tidak bisa digantikan. Karena itu, saya mendorong lahirnya aturan tegas, baik revisi UU maupun RUU baru, yang melarang aksi demonstrasi di kawasan cagar budaya.
Sedangkan terkait aksi demo untuk menyampaikan pendapat umum, Ning Lia tidak menampik bahwa hal itu sebagai wajah demokrasi. Sebagai negara demokrasi, kesempatan menyampaikan pendapat di muka umum adalah keniscayaan.
"Saya sendiri, dua kali turut ikut berorasi dalam aksi demo beberapa tahun lalu. Namun saya selalu menekankan pada diri sendiri, bahwa apa pun yang kita suarakan, harus suara yang bersifat transformasi kebaikan, bukan provokasi," kata anggota Komite III DPD RI ini.
Tidak hanya itu, ia juga meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas dalang perusakan Gedung Negara Grahadi. Menurut dia, penghukuman maksimal harus diberikan pada dalang kerusuhan demi efek jera sekaligus bentuk penghormatan terhadap warisan sejarah bangsa.
Ia berharap, dalang utama segera diketahui, ditangkap dan mendapat sanksi sosial dari masyarakat, selain law enforcement melalui penindakan hukum oleh kepolisian.
"Karena ulah keji provokator, sangat merusak warisan sejarah sekaligus mencuci otak anak-anak yang terlibat kerusuhan. Bagi saya, ini sudah bagian kejahatan kemanusiaan,” pungkasnya. (mdr/mar)