KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Makam Ibrahim Datuk Tan Malaka yang diduga berada di Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri, jasadnya masih diragukan dan kepastian hukumnya belum jelas. Hal itulah yang saat ini disoroti fraksi PDI Perjuangan Kabupaten Kediri.
Anggota DPRD kabupaten Kediri, Dody Purwanto, dalam menyikapi terkait rencana kepindahan makam ke Sumatera Barat, meminta pihak Pemkab Kediri memastikan dulu kepastian hukumnya pada pihak yang mengaku keluarganya.
Baca Juga: Uniska Jalin Kerja Sama dengan Bank Indonesia Melalui Program Beasiswa
"Hasil DNA hingga saat ini apa sudah keluar. Toh juga belum ada,” katanya, Selasa (17/1).
Lebih lanjut, Dodi menjelaskan kalaupun memang benar jasad tersebut adalah pahlawan Ibrahim Datuk Tan Malaka, dia meminta ada perlakuan khusus.
“Ya kita rawat dengan baik. Pemerintah tentunya menghormati keberadaan makam tersebut untuk dibangunkan makam yang baik atau dipindahkan ke makam pahlawan. Banyak pahlawan yang wafatnya tidak di tempat kelahirannya namun di medan juang”.
Baca Juga: Pjs Bupati Kediri Ikuti Senam Bareng Dinkes di Peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-60
Dody menambahkan, jika banyak keluarga pahlawan meminta jasadnya dipindahkan ke tanah kelahirannya, sejarah akan rusak. “Kita menghormati api semangatnya sebagai pahlawan bukan abu jasadnya,” pungkas Dody.
Plt. Kepala Dinas Infokom Pemkab Kediri Krisna Setyawan mengatakan jika pihak Pemkab masih mengkaji terkait rencana kepindahan jasad pahlawan Ibrahim Datuk Tan Malaka. “Pihak Pemkab masih melakukan beberapa kajian dulu terkait rencana kepindahan tersebut,” ungkap Krisna.
Pihak Pemkab Kediri juga sudah membentuk Tim di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Kementerian Sosial.
Baca Juga: OTK Penantang Duel Kabag Ops Polres Kediri Kota Diamankan, Ternyata Menderita Gangguan Jiwa
Dari catatan sejarah yang dikutip dari beberapa sumber, Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka, lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi ,sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.
Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.
Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh (Vietnam).
Baca Juga: Kejari Kabupaten Kediri, Kenalkan Program Sareng Jaga Desa
Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.
Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.
Baca Juga: Desak Ketua LMDH Budi Daya Satak Mundur, Kantor Perhutani Kediri Didemo Warga
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.
Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan di samping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika. (rif/rus/berbagaisumber)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News