Oleh: Suparto Wijoyo*
HARI INI wajah Indonesia menoleh ke Solo, Jawa Tengah. Menyimak kabar menebar warta menuai gembira dalam ruang pernikahan anak bangsa dari Mandailing bermarga Nasution guna bersanding dengan Putri Solo, Putri orang nomor satu di Republik ini. Berbondong tamu undangan datang menyemut membentuk formasi yang menjadikan Solo mengalunkan gending-gending penyambutan hebat.
Baca Juga: Rocky Gerung Ajak Pemuda di Surabaya Kritis Memilih Pemimpin
Saya berucap selamat berbahagia. Warga kota ini pun “merias muka” menyuguhkan yang terbaik kepada siapa saja yang bertandang kepadanya. 3.000 Tentara dan 1.500 Polisi diberitakan mempersiapkan diri mengamankan agenda yang berbilang “pernikahan paling Indonesia”, karena memang “saya Indonesia”. Jejaka Sumatera dan Gadis Jawa “menyulam cinta menggelar kasih sayang membangun keluarga” yang membuktikan perkawinan antar suku bukan masalah. Dan hal ini di bumi nusantara sudah sangat lumrah.
Saya yang dikualifikasi Jawa juga telah memperistri Mojang Priyangan dalam kategori Putri Sunda dalam makna rangkuman kisah yang lebih menggelora. Perkawinan antara orang Jawa-Sunda merupakan penanda untuk “membasuh luka, membalut derita, menyorongkan islah” akibat kelamnya cerita yang menyerta di Pelataran Bubat, Majapahit.
Kisah yang diabadikan dalam “dendam diam-diam” walau sejatinya sangat menghunjam. Maka pernikahan lintas dan lingkar ras serta suku bangsa menjadi “aroma penyebar kerinduan” lebih meng-Indonesia. Memperkuat kekokohan Indonesia pada “zaman now” adalah ikhtiar melahirkan pahlawan pernikahan antarwarga manusia Pancasila.
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Indonesia memang negara penuh keragaman. Ini adalah taman raksasa yang musti dikelola agar di “rimba raya” tidak terjadi kesemena-menaan. Semua boleh munumbuhkan pohon atau tanaman hias untuk memperindah Indonesia. Pepohonan yang tinggi menjulang dapat menyumbang oksigen agar Bumi Pertiwi tetap dalam posisi paru-paru dunia. Kembang-kembang yang berwarna-warni biarlah asyik menyelinap memberi sapaan “genitnya” pada mentari ataupun rembulan. Semerbak wanginya terkirim tanpa memberatkan “tukang pos” dari arah angin mana saja.
Semua dapat bersatu hanya atas nama Indonesia dan tentu betapa bergembiranya “pembuat sejarah” Goenawan Mangoenkoesoemo (1889-1929) menyaksikannya. Beliau adalah salah seorang dari Siswa yang tergabung di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) – Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra.
Saya memahami bahwa dari STOVIA inilah sebuah cita-cita persatuan kebangsaan digagas dan dikristalisasi dalam wadah perkumpulan Boedi Oetomo (BO). Langkah pembentukan BO ini langsung mendapatkan respon serius dari kaum terdidik Bumiputra yang duduk di bangku-bangku Sekolah: Landsbouwschool (Sekolah Pertanian), Veeartsenijschol (Sekolah Dokter Hewan), Hoofdenschool (Sekolah Kepala Negeri), Opleidingschool, Kweekschool bagi Guru, termasuk Burger-Avondschool (Sekolah Malam untuk Penduduk).
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Gelegar sebaran pendirian BO dari Gedung STOVIA Jakarta tanggal 20 Mei 1908 (dengan segala kontroversialnya “laku tokoh-tokohnya terhadap ajaran Islam”) merupakan jawaban atas kebutuhan peradaban yang menuntut kaum terdidiknya berbuat terbaik bagi rakyat. Peristiwa demi peristiwa yang menggambarkan penderitaan lahir batin rakyat menyembulkan komitmen kaum terdidik untuk memperkuat persatuan nasional melalui organisasi BO.
Penderitaan rakyat direkam amat jelas dalam tulisan Goenawan Mangoenkoesoemo mengenai Lahirnya Boedi Oetomo (1908-1918). Terdapat telisik kejadian yang sangat miris yang menimpa bangsa ini. Diceritakan sepenuh jiwa apa yang dirasakan penduduk Hindia Belanda di berbagai arena umum: di trem, di kereta api, di lapangan bola, kaum Bumiputra mempunyai nilai tidak lebih dari keset kaki, seperti seekor anjing yang dilempari batu oleh anak-anak di jalan besar.
Lebih dari itu, nestapa yang menggambarkan nasib kelam bangsa ini ditorehkan: di Hindia Belanda, saudara menemukan caci maki. Mereka sengaja menggunakan kata inlander (“pribumi”) untuk menyakiti hati, merendahkan, menjelekkan bahwa ini adalah bangsa yang malas, bodoh, jorok, kejam, tak tahu terima kasih, dan tak berperasaan. Inilah penghinaan yang diterima leluhur kita oleh kaum kolonialis.
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Ungakapan “historis” Goenawan Mangoenkoesoemo sangat membekas di hati khalayak untuk membulatkan tekad Merdeka. Semangat yang tumpah “dijalanan” menjadi “gelombang pergerakan” yang akhirnya “memanen” kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang sampai jua di 22 Oktober 1945: Resolusi Jihad.
Ini adalah “sabda agung” para pinisepuh, ulama dan santri yang memiliki gairah kebangsaan. Sekutu yang memberi tumpangan kepada Belanda dengan “kolusi imperialis” Jepang-Inggris tetap tidak berdaya menghadapi “gerakan syariah” melalui Resolusi Jihad. 10 November 1945 mengerek tinggi-tinggi kehormatan NKRI di mata internasional. Hari Pahlawan menjadi tersemat spesifik di sebuah wilayah yang kini kenal sebagai Kota Pahlawan.
Ini adalah produk keberpihakan kebangsaan dengan “kelambu iman” Islam yang sangat super. Naskah Resolusi itu meliterasi dengan terang kewajiban menegakkan kemerdekaan Negara dan Agama Islam. Muslim sungguh-sungguh menggedor “langit keangkuhan” penjajahan dalam “lumatan bambu runcing” yang sudah berselubung “asmak” kesucian.
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
Hari ini pun Indonesia tetap mampu “mendongak” mengangkat hormat dan martabat. Pernikahan untuk menyapa sesama anak bangsa juga terselenggara. Buliran rias melati menyebarkan harum yang baunya tercium oleh jiwa-jiwa kemesraan. Melati terangkai dengan seonggok karangan bunga yang bermahkota Mawar.
Indah nian bunga ini menyimbulkan keteguhan cinta dan lambang keabadian asmara. Harum mawar bukan pada kelopaknya melainkan warna yang tajam merekam. Meski demikian, mawar tak elok pongah merasa mendominasi keindahan taman sari katrisnan Indonesia dengan “mengeluarkan” duri-duri tajamnya.
Bukankah duri tajammu bukan untuk “membubarkan” melati yang bersemi “gemar mengaji”? Ingatlah bahwa melati juga ingin berkontribusi pada “pesta negeri ini”, bukan hanya kau yang seolah kukuh menjadi “mawar” yang sering berlagak paling setia dengan falsafah negara.
Baca Juga: Di Penghujung Jabatan Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Gebuki Mafia Tanah
*Penulis merupakan Esais, Akademisi Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News