BangsaOnline.com - Menurut
beberapa saksi mata, bencana longsor maut itu sebenarnya sudah
menunjukkan sejumlah tanda. Namun warga banyak yang tidak menghiraukan.
Satu
tanda paling nyata adalah terjadinya longsor awal, sehari sebelum
longsor besar Jumat. Namun karena hanya menimbun ruas jalan dan tidak
menyasar ke pemukiman, tidak ada yang mengungsi. Bahkan mereka malah
menonton pembersihan material longsor oleh petugas TNI dan Bina Marga
Dinas Pekerjaan Umum Pemda Jateng.
Tanda berikutnya adalah
munculnya ribuan lele di aliran sungai yang membelah Dusun Jemblung.
Pengakuan saksi mata, siang menjelang sore pada Jumat petaka itu, ada
warga yang berhasil menjaring ikan lele dalam jumlah banyak di aliran
sungai yang mengairi sawah warga.
"Itu ikannya melimpah-limpah.
Tidak cukup satu ember. Padahal biasanya kalau mancing, susah bukan
main. Namun entah kenapa, pada siang sampai sore, banyak sekali ikan
lele di aliran sungai," tutur Kepala Desa Kalibening, Khodim, yang
mengaku mendapatkan informasi tersebut dari warga Dusun Jemblung yang
selamat.
Warga memperkirakan, kemunculan lele tersebut besar
kemungkinan larian dari dalam tanah. Sebab, nun jauh di atas Dusun
Jemblung, yakni di atas bukit yang kini menjadi sorotan Tim Kaji Gerak
Cepat Gerakan Tanah, ada kolam berdiamater 30 meter dengan kedalaman 1
meter. Kolam ini ternyata sudah lama ada. Warga menamakannya dengan
Telaga Lele.
"Telaga itu sudah ada sejak dulu. Dinamakan Telaga
Lele, karena dulunya memang banyak lele. Warga memperkirakan munculnya
ratusan lele ini karena ikut aliran air dari telaga yang turun ke bawah
dusun," kata Khodim.
Fenomena
munculnya lele tersebut, memang tak banyak warga yang mengetahuinya.
Sebab, pada siang menjelang sore, warga kebanyakan menonton pembersihan
jalur yang tertimbun longsor di ujung desa.
Karena itu hanya
segelintir warga yang tahu. Itu pun karena kebetulan mereka tengah
memancing dan menjaring di aliran sungai Dusun Jemblung. "Bayangkan saja
kata mereka yang dapat lele itu, dari mulai pukul 12.00-17.00, lelenya
tak habis-habis. Tapi ini baru kepikiran usai bencana, kenapa muncul
lele secara tiba-tiba dalam jumlah banyak di desa itu," kata Khodim.
Sebab
itu, muncul sejumlah spekulasi. Salah satunya yang paling masuk akal,
kata Khodim, adanya lorong air yang menjadi penghubung antara Dusun
Jemblung dengan Telaga Lele yang berada di atas bukit yang kini sebagian
materialnya sudah menutupi desa.
Hal itu cukup beralasan.
Berdasar hikayat nama, Jemblung didefinisikan sebagai tempat penampungan
air atau wadah air besar yang terbuat dari tanah liat. Karena itu,
wajar adanya lembahan yang kini menjadi pemukiman warga tersebut, banyak
ditemukan aliran air di lereng bukit yang kemudian tumpah ke bawah
dusun.
"Bisa jadi dari aliran air yang banyak itu, keluarlah
lele-lele yang ada di atas bukit. Atau bisa jadi juga, air-air ini yang
membuat tanah dusun jadi gampang rapuh. Jadi ketika hujan datang,
longsor pasti mengancam," kata Khodim.
Kini, terlepas dari itu
semua. Bencana maut Dusun Jemblung, harus menjadi pelajaran semua pihak.
Bahwa sesungguhnya bencana bisa datang kapan saja dan kepada siapa
saja. Baik Khodim maupun Purwanto berharap, ada langkah serius dari
pemerintah setempat untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bencana
serupa.
"Kami prinsipnya siap apapun keputusan yang hendak
diambil pemerintah tentang keberadaan dusun kami. Kami cuma ingin hidup
tenang dan tetap bisa memenuhi kebutuhan harian kami dari ladang yang
ada di dusun kami," kata Purwanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News