Tak Lagi Nulis Sumbangan Aki Rp 2 Triliun? Lebih Aman Nulis Durian, Tak Kenal Agama dan Ras?

Tak Lagi Nulis Sumbangan Aki Rp 2 Triliun? Lebih Aman Nulis Durian, Tak Kenal Agama dan Ras? Dahlan Iskan. foto: dok pribadi

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Dua tulisan Dahlan Iskan tentang sumbangan keluarga Akidi Tio Rp 2 triliun kepada menyedot perhatian publik. Dibaca jutaan orang!

Tapi kenapa wartawan kondang itu hari ini tak menulis lagi tentang sumbangan yang menghebohkan itu? Justru menulis tentang ? Apa sih pentingnya ?

Baca Juga: Jatim Penghasil Durian Terbesar, Khofifah Bakal Jadikan Ekspor Unggulan Demi Kesejahteraan Petani

Silakan simak tulisan wartawan handal itu di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com pagi ini, Ahad 1 Agustus 2021. Selamat membaca:


INI soal 2 triliun juga. Kalau dikumpulkan. Dan lagi tulisan ini pasti aman: tentang . Disenangi di gurun sekaligus di kolam. Tidak mengenal agama atau pun ras.

Baca Juga: Jelang Musim Balap, Mario Aji Sambangi Kediaman Khofifah dan Disuguhi Durian Black Thorn Khas Blitar

Dan lagi, bisa mengangkat nasionalisme.

Seperti yang dilakukan Theng Ah Khiong ini. Ia termasuk yang tidak rela Indonesia kalah oleh Malaysia –dalam hal .

Sudah lebih tujuh tahun ia keliling Indonesia. Dari hutan ke hutan: mencari unggul di semua pulau.

Baca Juga: Usai Viral di TikTok Milik Khofifah, Durian Black Thorn Blitar Mulai Dilirik Pasar Luar Negeri

Akhiong, nama panggilannya, lantas memutuskan untuk membuat lahan riset : 40 hektare. Lokasinya di Ogan Ilir, dekat-dekat yang Rp 2 triliun itu.

Di situlah Akhiong menanam 60 jenis paling unggul dari seluruh Indonesia. Tanaman itu kini sudah berumur 2 tahun. Serius sekali. Biaya pemeliharaan dan risetnya mahal sekali: Rp 125 juta/hektare sampai berbuah nanti.

Akhiong pun mengambil kesimpulan: terbaik adalah dari . Khususnya dari hutan sekitar Entikong –dekat perbatasan dengan Serawak, Malaysia.

Baca Juga: Peluang Ekspor Besar, Khofifah akan Gencarkan Penanaman Durian Premium di Jawa Timur

Juga: dari Bangka.

Lalu: dari Papua.

Akhiong begitu tersinggung kalau ada yang menulis –tidak perlu saya sebut nama penulisnya– terbaik adalah Musang King dari Malaysia. Saya sampai tersipu-sipu.

Baca Juga: Kunjungi Kantah di Pontianak, Menteri AHY Sampaikan Nilai Ekonomi pada Sertifikat Tanah

Lebih tersipu lagi kemarin malam, Minggu lalu. Ketika ada paket satu kotak datang ke rumah saya. Saya pikir itu ancaman bom. Ternyata kotak itu berisi . Masih utuh dengan kulitnya. Banyak sekali.

Pengirimnya: Akhiong!

Saya harus menghabiskan semua itu. Biar kapok. Biar kalau menulis tidak ngawur. Biar tahu begitu banyak Indonesia yang lebih enak dari Musang King.

Baca Juga: Mengintip Durian Lokal yang Terkenal di Pasar Pasrepan Kaki Gunung Bromo

Kotak itu datangnya dari Bangka. Dikirim dengan pesawat Garuda. Saya lupa menghitung berapa biji. Tiap biji beda rasa, beda nama, beda agama –ups beda teksturnya.

Rupanya Akhiong begitu emosinya sampai mengumpulkan semua jenis Bangka terbaik. Ada yang warna dagingnya tembaga –itulah Tembaga. Ada yang warnanya putih sekali – kapas.

Yang paling dijagokan adalah yang warna dagingnya keemasan: itulah Tupai Chong.

Baca Juga: 15 Ucapan Kreatif Peringatan HUT RI ke-78 Agustus 2023 Cocok untuk WA, Instagram dan Tiktok

"Apakah itu yang di Malaysia disebut Tupai King?" tanya saya.

Akhiong tersinggung.

Ia tidak rela Tupai Chong-nya Bangka disejajarkan dengan Tupai King-nya Malaysia. "Penggunaan kata Tupai di Malaysia itu yang justru meniru Bangka. Istilah Tupai King di Malaysia baru ada dua tahun ini. Tupai Chong sudah puluhan tahun," ujarnya.

Baca Juga: 10 Lagu yang Cocok Diputar pada Acara dan Tirakatan 17 Agustus 2023 Selain Wajib Nasional

Saya pun tidak sabar: ingin segera membuka Tupai Chong itu.

Tapi makan sendirian? Tidak seru. Saya harus tahan emosi. Saya membuat jadwal: habis Isya. Saya undang teman saya: Liong Pangkey. Yang di hatinya, di jantungnya, di darahnya hanya ada satu mimpi: . Ia orang Gorontalo yang sudah lama di Surabaya.

Sebenarnya saya ingin undang beberapa teman lagi. Tapi saya takut justru saya bisa tidak kebagian.

Yang jelas saya tidak undang istri saya: punya komorbid. Tidak undang dua anak saya: benci . Azrul Ananda pernah pingsan di dekat . Waktu kecil. Waktu diajak jalan di dekat tumpukan di Singapura.

Maka kemarin malam itu, di bawah rindang pohon-pohon mangga di halaman, di depan studio gamelan, di bawah sinar bulan yang masih bulat terang, saya membuka si Tupai Chong. Buahnya kecil –hanya lebih besar dari 10 kepala tupai disatukan

Warnanya benar: keemasan.

Lalu saya pejamkan mata untuk mencicipinya. Ganti saya yang pingsan –seolah-olah. Sambil mengisap daging itu, pelan-pelan, khayalan saya ke Singapura, ke Malaysia, ke Vietnam, ke Thailand, ke Hainan: semua kalah. Warnanya, rasanya, manis-pahitnya, teksturnya, serba sempurna.

Kelemahannya: tidak ada.

Ups...ada. Di seluruh Bangka pohonnya hanya ada satu. Tinggal satu itu. Milik Pak Chong. Itulah sebabnya dinamakan Tupai Chong.

Pengakuan saya itu membuat emosi Akhiong reda. Ia pun mau bercerita banyak tentang petualangannya masuk hutan-hutan di banyak basis di Indonesia.

Akhiong lahir di Palembang. Ayahnya kontraktor di perusahaan pengeboran minyak. Setamat SMA, ia kuliah di Jerman: teknik mesin. Sepuluh tahun Akhiong di Berlin. Sempat bikin usaha di sana.

Ia sangat terkesan dengan Jerman. Alamnya begitu dipelihara. Di kota Berlin saja ada tiga hutan kota. Di Jerman ia merasa bisa menyatu dengan alam.

Begitu pulang ke Palembang ia menyaksikan rusaknya alam. Ia juga tidak kerasan tinggal di kota seperti Jakarta atau Surabaya. Akhirnya ia pilih menetap di Papua. Di Jayapura. Di situ Akhiong memilih bisnis di perdagangan.

Ketika hidupnya sudah cukup secara ekonomi, Akhiong berpikir apa lagi yang bisa diperbuat untuk keunggulan Indonesia di bidang alam. Sebagai anak Palembang ia sangat -minded. Yang di Palembang, di masa kecilnya, hampir tidak ada harganya.

Waktu kecil itu, ketika diajak jalan-jalan ke Singapura, ia ikut ayah dan teman-teman sang ayah ke pusat penjualan di sana. Yang membuat ia kaget: harganya.

Di kampungnya begitu tidak bernilai. Di Singapura begitu mahalnya.

Itulah yang terus hidup di pikirannya. Pun sampai ia bawa ke Jerman. Biar pun sekolahnya teknik ia tidak berhenti memikirkan . Terutama soal beda harga tadi.

Sambil dagang, Akhiong pun mulai menyiapkan lahan untuk . Tapi bukan seperti waktu ia kecil. Ia harus melakukan riset. Harus dengan ilmu pengetahuan.

Tentu ribuan pohon yang ia tanam di lahannya di dekat Palembang itu. Tapi ia menyisihkan sebidang area untuk menanam unggulan dari seluruh Indonesia.

Tentu saya berdoa agar pandemi cepat selesai. Salah satu alasan saya: ingin ke lahan riset milik Akhiong itu. Sambil mampir ke rumah Heryanti, wanita 2 triliun itu.

Saya, tentu, juga ingin ke Bangka. Untuk bertemu dengan Pak Chong itu. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Kelebihan Muatan, Perahu di Sungai Kumba, Kalimantan Barat Tenggelam':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO