Thok-Thok: Antara Budaya dan Sekadar Hiburan | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Thok-Thok: Antara Budaya dan Sekadar Hiburan

Editor: Redaksi
Jumat, 17 Mei 2024 16:11 WIB

Ilustrasi. Foto: Ist

Kini, tutur Kiai Fauzi Rauf, Thok-Thok justru dijadikan ikon dan di-entertain menjadi tontonan, "Bukan hanya dijadikan ikon dan diintertain, tapi juga dijadikan ajang judi. Masalah perjudian inilah yang membuat warga masyarakat menolak keras. Selain itu, tegas Kiai Fauzi Ra'uf, Thok-Thok juga melibatkan anak-anak. "Acaranya kan sore sampai maghrib, bahkan kadang sampai isya’. Ya sudah, habis (tak salat maghrib), "Pokoknya lebih banyak mudlaratnya ketimbang manfaatnya."

Dalam teori konstruksi sosial, yang dimaksud dengan realitas sosial adalah hasil dari sebuah konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Sebagaimana menurut Berger dan Luckman dalam (Nursyam, 2005: 37) kontsruksi sosial dibangun melalui dua cara: Pertama, mendefinisikan tentang kenyataan atau ”realitas” dan ”pengetahuan”. 

Realitas sosial adalah sesuatu yang tersirat di dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial melalui komunikasi bahasa, kerja sama melalui bentuk-bentuk organisasi sosial dan seterusnya. 

Realitas sosial ditemukan dalam pengalaman intersubjektif, sedangkan pengetahuan mengenai realitas sosial adalah berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dengan segala aspeknya, meliputi ranah kognitif, psikomotorik, emosional dan intuitif. 

Kedua, Berger mengartikan masyarakat sebagai realitas objektif sekaligus subjektif. Sebagai realitas objektif, masyarakat berada di luar diri manusia dan berhadapan dengannya. Sedangkan sebagai realitas subjektif, individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan. 

Dengan kata lain, individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat juga pembentuk individu. Realitas sosial bersifat ganda (plural) dan bukan tunggal, yaitu realitas objektif dan subjektif. 

Di sinilah yang perlu dikaji oleh DKG sebelum menjastis thok-thok sebagai sebuah tradisi Masyarakat , di mana thok-thok sebagai realitas objektif dengan artian realitas yang berada di luar diri manusia, sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang berada dalam diri manusia. Di mana dalam teori konstruksi sosial terdapat proses dialektika antara dunia subjektif elit agama dan dunia objektif untuk mendapatkan kesepahaman sebagai sebuah tradisi.

Menurut (Berger dan Luckman, 1990) dalam teori konstruksi sosial-nya, bahwa sistem pengetahuan seseorang tidak bisa terlepas dari latar belakang atau setting yang melatarbelakanginya. 

Sosiologi pengetahuan dalam pemikiran Berger dan Luckman, memahami dunia kehidupan (life world) selalu dalam proses dialektik antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektik itu mencakup 3 momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dengan dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).

Tahap eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu momen di mana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. 

Dalam kedua tahap ini (eksternalisasi dan objektivasi) seseorang memandang masyarakat sebagai realitas objektif (man in society). Sedangkan dalam tahap internalisasi, seseorang membutuhkan pranata sosial (social order), dan agar pranata itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan, maka haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. 

Pranata sosial merupakan hal yang objektif, independen dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara subjektif. Ketiga momen dialektik itu mengandung fenomena-fenomena sosial yang saling bersintesa dan memunculkan suatu konstruksi sosial atau realitas sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil kreasi dan interaksi subjektif.

Dengan itu, jika Thok-thok telah mengalami proses ketiga momen dialektik tersebut dan mempunyai kontruksinya dengan jelas, maka bisa dikatakan sebagai warisan tradisi atau budaya yang mau tidak mau akan dengan sendirinya disepakati dalam sudut pandang teori kontruksi sosial.

Sangat disayangkan memang ketika DKG sebagai sebuah Lembaga yang dianggap sebagai wadah dari para pakar dan pemerhati budaya yang merepresentasikan kabupaten Gresik, terlalu gegabah tanpa melalui kajian yang mendalam mengangkat dan menjastis Thok-thok sebagai salah satu tradisi Masyarakat

Seyogyanya, DKM mengangkat dan mempromosikan tradisi Masyarakat yang telah disepakati dan telah dikaji oleh beberapa akademisi seperti Mulod, Panganten, Pencak , Merantau, dan lain sebagainya. 

Sehingga hal tersebut diharapkan tidak menimbulkan kegaduhan, akan tetapi dapat memperkaya hazanah kajian tentang kebudayaan khusunya dan Gresik secara umum, disamping itu juga sebagai upaya dalam pelestarian budaya yang ada di kabupaten Gresik secara keseluruhan. (*)

Penulis merupakan Ketua PC Pergunu dan Dosen STAIHA

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video