Thok-Thok: Antara Budaya dan Sekadar Hiburan | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Thok-Thok: Antara Budaya dan Sekadar Hiburan

Editor: Redaksi
Jumat, 17 Mei 2024 16:11 WIB

Ilustrasi. Foto: Ist

Oleh: Nur Syarifuddin

Pada 14 Mei 2024, DKG (Dewan Kebudayaan Gresik) melalui akun facebook dan IG memajang sebuah flyer yang mengatakan bahwa thok-thok (aduan sapi) sebagai salah satu tradisi lokal yang ada di

Hal tersebut kemudian menimbulkan gejolak penolakan dari berbagai element masyarakat, tak terkecuali Ketua Tanfidziyah NU, K. Fauzi Ra’uf, yang langsung merespons dengan status facebooknya pada 16 Mei 2024 yang menyertakan flayr dari DKG.

Terlepas dari itu semua, penulis ingin mencoba menyajikan pengertian budaya menurut beberapa ahli. Di mana menurut Cikusin (2006; ii), menjelaskan bahwa setiap budaya merupakan hasil dari masyarakat dan sekaligus akan menjadi milik masyarakat. 

Sedangkan Horton & Chester (ed. Taylor, 1996:58), mengungkapkan kebudayaan adalah keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan seluruh kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut teori Parson & Shils (1962), Kebudayaan terdiri dari empat komponen, yaitu:a) Sistem Budaya ‘Culture System,b) Sistem Sosial ‘Social System’,c) Sistem Kepribadian ‘Personality System’dan d) Sistem Organik ‘Organic System’. 

Lalu, Koentjaraningrat (2009; 150-153), wujud kebudayaan terdiri dari; Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Dari beberapa pengertian di atas, kebudayaan dapat dipahami dengan sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, seperti pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Adapun budaya lokal menurut Poerwanto (2000;51) adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain.

Koentjaraningrat (2015; 2), juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan. 

Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Dari sini wajar saja jika Thok-thok menjadi polemik yang cukup menarik dan mendapatkan penolakan yang signifikan dari berbagai elemen masyarakat , hal itu dikarnakan DKG terlalu gegabah menjastifikasi bahwa Thok-thok merupakan tradisi masyarakat sekitar sebelum melakukan kajian yang mendalam dan diskusi dengan para elit lokal yang ada di wilayah tersebut.

Adapun teori tentang nilai budaya menurut Hasan (1987:5) mengatakan ada enam nilai-nilai yang ada dalam budaya, yaitu: nilai religius, nilai ilmiah, ekonomis, politis, estetis, dan juga nilai humanis. 

Sedangkan Koentjaraningrat (2015:7) menjelaskan bahwa nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikir sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. 

Sistem nilai yang ada dalam masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu nilai budaya dalam masyarakat akan mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara, alat, dan tujuan pembuatan yang tersedia. 

Di sinilah menurut hemat penulis para elit lokal menolak keras terhadap jastifikasi Thok-thok sebagai salah satu tradisi yang ada di , mengingat masyarakat yang selama ini terkenal dengan masyarakat yang agamis, yang penduduknya 100 persen memeluk Islam. Di mana thok-thok sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam Islam.

Di samping itu, sepanjang penelusuran penulis Thok-thok sendiri merupakan kebiasaan sebagian kecil masyarakat yang belum sampai tiga generasi secara turun temurun, sebagaimana yang disampaikan K. Fauzi Ra’uf di BANGSAONLINE.com pada 16 Mei 2024: thok-thok mulai ada dikampung-kampung di sekitar tahun 1990-an yang dibawa warga pendatang terutama dari kawasan tapal kuda, di mana saat itu hanya sebagai hiburan saat para petani rehat setelah menggarap sawah. 

Kini, tutur Kiai Fauzi Rauf, Thok-Thok justru dijadikan ikon dan di-entertain menjadi tontonan, "Bukan hanya dijadikan ikon dan diintertain, tapi juga dijadikan ajang judi. Masalah perjudian inilah yang membuat warga masyarakat menolak keras. Selain itu, tegas Kiai Fauzi Ra'uf, Thok-Thok juga melibatkan anak-anak. "Acaranya kan sore sampai maghrib, bahkan kadang sampai isya’. Ya sudah, habis (tak salat maghrib), "Pokoknya lebih banyak mudlaratnya ketimbang manfaatnya."

Dalam teori konstruksi sosial, yang dimaksud dengan realitas sosial adalah hasil dari sebuah konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Sebagaimana menurut Berger dan Luckman dalam (Nursyam, 2005: 37) kontsruksi sosial dibangun melalui dua cara: Pertama, mendefinisikan tentang kenyataan atau ”realitas” dan ”pengetahuan”. 

Realitas sosial adalah sesuatu yang tersirat di dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial melalui komunikasi bahasa, kerja sama melalui bentuk-bentuk organisasi sosial dan seterusnya. 

Realitas sosial ditemukan dalam pengalaman intersubjektif, sedangkan pengetahuan mengenai realitas sosial adalah berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dengan segala aspeknya, meliputi ranah kognitif, psikomotorik, emosional dan intuitif. 

Kedua, Berger mengartikan masyarakat sebagai realitas objektif sekaligus subjektif. Sebagai realitas objektif, masyarakat berada di luar diri manusia dan berhadapan dengannya. Sedangkan sebagai realitas subjektif, individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan. 

Dengan kata lain, individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat juga pembentuk individu. Realitas sosial bersifat ganda (plural) dan bukan tunggal, yaitu realitas objektif dan subjektif. 

Di sinilah yang perlu dikaji oleh DKG sebelum menjastis thok-thok sebagai sebuah tradisi Masyarakat , di mana thok-thok sebagai realitas objektif dengan artian realitas yang berada di luar diri manusia, sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang berada dalam diri manusia. Di mana dalam teori konstruksi sosial terdapat proses dialektika antara dunia subjektif elit agama dan dunia objektif untuk mendapatkan kesepahaman sebagai sebuah tradisi.

Menurut (Berger dan Luckman, 1990) dalam teori konstruksi sosial-nya, bahwa sistem pengetahuan seseorang tidak bisa terlepas dari latar belakang atau setting yang melatarbelakanginya. 

Sosiologi pengetahuan dalam pemikiran Berger dan Luckman, memahami dunia kehidupan (life world) selalu dalam proses dialektik antara the self (individu) dan dunia sosio kultural. Proses dialektik itu mencakup 3 momen simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dengan dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasi dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya).

Tahap eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu momen di mana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. 

Dalam kedua tahap ini (eksternalisasi dan objektivasi) seseorang memandang masyarakat sebagai realitas objektif (man in society). Sedangkan dalam tahap internalisasi, seseorang membutuhkan pranata sosial (social order), dan agar pranata itu dapat dipertahankan dan dilanjutkan, maka haruslah ada pembenaran terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses legitimasi yang disebut objektivasi sekunder. 

Pranata sosial merupakan hal yang objektif, independen dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara subjektif. Ketiga momen dialektik itu mengandung fenomena-fenomena sosial yang saling bersintesa dan memunculkan suatu konstruksi sosial atau realitas sosial, yang dilihat dari asal mulanya merupakan hasil kreasi dan interaksi subjektif.

Dengan itu, jika Thok-thok telah mengalami proses ketiga momen dialektik tersebut dan mempunyai kontruksinya dengan jelas, maka bisa dikatakan sebagai warisan tradisi atau budaya yang mau tidak mau akan dengan sendirinya disepakati dalam sudut pandang teori kontruksi sosial.

Sangat disayangkan memang ketika DKG sebagai sebuah Lembaga yang dianggap sebagai wadah dari para pakar dan pemerhati budaya yang merepresentasikan kabupaten Gresik, terlalu gegabah tanpa melalui kajian yang mendalam mengangkat dan menjastis Thok-thok sebagai salah satu tradisi Masyarakat

Seyogyanya, DKM mengangkat dan mempromosikan tradisi Masyarakat yang telah disepakati dan telah dikaji oleh beberapa akademisi seperti Mulod, Panganten, Pencak , Merantau, dan lain sebagainya. 

Sehingga hal tersebut diharapkan tidak menimbulkan kegaduhan, akan tetapi dapat memperkaya hazanah kajian tentang kebudayaan khusunya dan Gresik secara umum, disamping itu juga sebagai upaya dalam pelestarian budaya yang ada di kabupaten Gresik secara keseluruhan. (*)

Penulis merupakan Ketua PC dan Dosen STAIHA

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video