Kasihan Mbah Hasyim, PBNU Tak Mampu Baca Suasana Kebatinan Warga NU

Kasihan Mbah Hasyim, PBNU Tak Mampu Baca Suasana Kebatinan Warga NU Hadratusyaikh KH Muhammad Hasyim Asy'ari.

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di bawah kepemimpinan KH Miftahul Akhyar (Rais Aam) dan KH Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU) mendapat sorotan tajam dari rakyat Indonesia. Terutama warga NU yang jumlahnya mencapai ratusan juta.

Bahkan bukan hanya sorotan tajam. Tapi juga kecaman dan cacian merendahkan. Yang dalam istilah media sosial: bullying.

Publik membully PBNU karena pimpinan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu menerima konsesi batu bara pemberian . Padahal penambangan batu bara itu selain merusak lingkungan juga berpotensi melanggar hukum atau Undang-Undang.

Banyak yang menilai bahwa PBNU tidak bisa membaca suasana kebatinan warga NU.

"Kasihan ," kata Maimunah Saroh, seorang ibu yang mantan pengurus Fatayat NU.

Yang dimaksud adalah Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, pendiri NU sekaligus pendiri Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.

Menurut dia, dan para kiai secara tulus mendirikan NU untuk tujuan mulia. Yaitu izzul Islam wal muslimin, dan kejayaan bangsa Indonesia. Selain itu untuk menjaga ajaran Ahlussunnah wal jamaah.

Otomatis banyak mengorbankan harta, tenaga, dan bahkan jiwa. Bukan malah untung. Apalagi cari untung dari NU.

"Tapi pengurus NU sekarang malah seperti itu," tambah ibu berjilbab itu penuh prihatin.

Bukan hanya warga NU yang gelisah dengan kondisi PBNU sekarang. Para pengurus NU di berbagai tingkatan juga mengalami suasana kebatinan yang sama.

"Saya pribadi merasa kurang nyaman NU dapat konsesi pengelolaan tambang," kata seorang Ketua PCNU di Jawa Timur kepada penulis.

Kenapa? "Bagaimana kami menjelaskan ke warga NU di tingkat ranting, sementara selama ini setiap kegiatan kami mengajak masyarakat untuk iuran bersama. Bahkan mereka nyumbang konsumsi setiap kegiatan PCNU," jelas ketua PCNU itu lagi.

Sayang, dia tak mau namanya dipublikasikan. Alasannya, karena pengurus NU yang berbeda pendapat dengan PBNU pasti di-caretaker. Menurut dia, sudah banyak korbannya. Bahkan PCNU kritis sedikit saja langsung dipecat dan dibekukan.

Tampaknya PBNU harus muhasabah. Melakukan evaluasi diri. Yang perlu diingat, jabatan PBNU bukan jabatan politik. Tapi amanah warga NU dan para kiai. Terutama amanah dari Hadratussyaikh dan para ulama atau kiai pendiri NU.

PBNU bukan saja harus bisa membaca suasana kebatinan warga NU, tapi juga harus menjaga muruah atau marwah NU. Jangan sampai organisasi terbesar peninggalan Hadratussyaikh itu rusak citra atau marwahnya gara-gara sikap politik pragmatis elit PBNU.

Karena itu keputusan menerima konsesi batu bara itu harus dikaji ulang. Apalagi organisasi lain banyak sekali yang menolak pemberian itu. 

Mereka yang menolak, antara lain: Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, Konferensi Waligeja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)

Mereka menolak karena selain berpotensi melanggar hukum juga merusak lingkungan.

PBNU harus bisa membedakan antara membela pemerintah dan membela pribadi . Tugas PBNU membela negara dan bangsa. Bukan membela elit politik perorangan.

PBNU harus banyak belajar pada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika Gus Dur mendapat amanah sebagai Ketua Umum PBNU, Presiden Soeharto sangat perkasa secara politik. Soeharto bahkan punya kaki tangan di mana-mana. Sehingga dengan sangat mudah bisa intervensi kepada ormas.

Tapi Gus Dur tak mau NU diintervensi. Gus Dur menolak PBNU dijadikan tameng politik penguasa. Gus Dur juga tak membebek dan cari muka.

Pernyataan-pernyataan politik Gus Dur independen dan berkelas. Bahkan sering kali pernyataan Gus Dur sangat kritis sehingga membuat Presiden Soeharto panas dingin.

Gus Dur sebagai ketua umum PBNU menjaga posisi dan marwah NU. Gus Dur sadar betul bahwa organisasi yang dipimpinnya adalah organisasi Islam terbesar warisan para kiai, terutama kakeknya, Hadratussyaikh. Sehingga tak mudah dibeli, apalagi dijual murah secara politik.

Memang konsekuensinya, cobaan politik datang silih berganti. Berkali-kali Gus Dur dijegal dan mau disingkirkan. Tapi Gus Dur tetap tegar. Bagi Gus Dur, harga diri, jati diri, dan martabat atau harkat NU adalah segala-galanya.

Ironisnya, saat itu ada sekelompok kiai NU diam-diam mendatangi Presiden Soeharto. Mereka mengikuti irama pemerintahan Soeharto, mempersoalkan sikap kritis Gus Dur. Dengan dalih untuk menyelamatkan NU. Otomatis mereka mendapat reward dari Soeharto. Selain finansial juga yayasan.  

Tapi Gus Dur tak peduli. Gus Dur malah mengaku kasihan pada para kiai itu.

"Saya kasihan pada kiai-kiai itu. Untuk apa mendatangi pohon yang sudah mau tumbang," kata Gus Dur kepada beberapa kader NU.

Ucapan Gus Dur tebukti. Pada 1998 Presiden Soeharto dihantam badai reformasi. Demo massal. Terutama para mahasiswa. Presiden Soeharto lengser.

Tentu PBNU sekarang tak perlu bersikap kritis. Apalagi seperti Gus Dur. Karena memang beda maqam atau beda kelas. Baik dari segi intelektual, wawasan, keilmuan, dan kecanggihan politik. 

Apalagi dari segi moralitas, integritas dan karakter. Gus Dur adalah pemimpin yang berintegritas dan berkarakter. Karena itu kokoh pendirian, tak bisa dibeli dengan materi.  

Sekali lagi, tak perlu meniru Gus Dur. Terlalu utopis. PBNU sekarang cukup obyektif dan independen saja sudah lebih dari cukup. 

Kalau PBNU masih juga tidak mampu independen dan obyektif, cukuplah konsisten atau istiqamah dengan jargonnya: Merawat Jagat Membangun Peradaban. Artinya, jangan merusak jagat dan jangan merusak peradaban.

Jika ini dilakukan, paling tidak, sudah bisa mengobati suasana kebatinan warga NU yang lagi gundah. Wallahua’lam bisshawab.

Lihat juga video 'Emak-emak di Surabaya Kecewa Tak Bisa Foto Bareng Jokowi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO