Menghabisi Etnis Arab, Membela Etnis Tionghoa, Radikalisme tanpa Pengakuan

Menghabisi Etnis Arab, Membela Etnis Tionghoa, Radikalisme tanpa Pengakuan Foto ini diambil dari saudinesia.com. Dalam caption saudinesia.com tertulis: Foto diambil dari media anti Arab (dibaca anti sunnah)

Fenomena menghabisi etnis Arab ini memang menarik. Padahal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia -terutama dalam sejarah kemerdekaan RI – banyak tokoh etnis Arab yang berjasa pada bangsa dan negara Indonesia.

Dalam sejarah Indonesia kita menemukan banyak sekali tokoh etnis Arab yang menjadi pejuang kemerdekaan RI. Bahkan banyak di antara mereka sudah dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Antara lain: Abdurrahman az-Zahir (pemimpin Perang Aceh), Abdurrahman Baswedan (pahlawan nasional, pejuang Kemerdekaan, pendiri Persatuan Arab Indonesia).

Lalu juga Ageng Tirtayasa dari Banten, pahlawan nasional; Sultan Banten ke-6, Fatahillah, panglima perang Kesultanan Demak; Hamid Algadri, perintis kemerdekaan; Husein Mutahar, pejuang kemerdekaan, pendiri Paskibraka; Mahfudh Abdurrahman Al-Hasani, pejuang, pimpinan Angkatan Umat Islam; Mahmud Badaruddin II, pahlawan nasional, Sultan Palembang ke-18; dan Mahmud Syah III dari Johor, pahlawan nasional, Sultan Johor ke-15.

Juga ada Muhammad Syahbuddin Shahab, pejuang kemerdekaan; Nuku Muhammad Amiruddin, pejuang, pahlawan nasional; Radin Inten II, pahlawan nasional, pejuang; dan masih banyak lagi.

Bahkan negara-negara Arab adalah negara paling awal mengakui kemerdekaan RI sehingga menjadi legitimasi kuat secara internasional. Antara lain Yaman, Suriah, Mesir, Arab Saudi, bahkan Lebanon yang saat itu dekat dengan Barat juga mengakui kemerdekaaan Indonesia. 

Lalu bagaimana dengan etnis ? Tentu ada yang berjuang untuk Indonesia. Tapi tak sebanyak etnis Arab.

Yang memilukan banyak etnis yang diduga terlibat pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia, meski kemudian mereka yang paling banyak menikmati ekonomi Indonesia.

Sejarah Indonesia mencatat tentang Pao An Tui. Yaitu pasukan pertahanan diri komunitas Tionghoa Indonesia saat Revolusi Indonesia (1945-1950). Pao An Tui populer sebagai pembela yang berperang melawan bangsa Indonesia.

Sejarah juga mencatat bahwa yang menjadi ketua Pao An Tui adalah Loa Sek Hie. Sedangkan Oey Kim Sen sebagai Wakil Ketua, Khouw Joe Tjan sebagai Sekretaris, dan Cong Fai-Kim tercatat sebagai Bendahara.

Markas Pao An Tui ada di Batavia, Hindia Belanda. Sementara wilayah operasinya sebagian di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.

(Pao An Tui)

Dalam berbagai literatur sejarah mereka disebut sebagai pengkhianat bangsa Indonesia. Namun belakangan mulai ada upaya untuk merevisi dengan berbagai alasan untuk menutupi sejarah kelam etnis Tioghoa di Indonesia.

Bahkan sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karyanya banyak menggambarkan etnis Tionghoa sebagai kelompok pragmatis yang mengabaikan moral. Dalam bukunya berjudul Bumi Manusia, Pramoedya menggambarkan etnis Tionghoa sebagai agen prostitusi yang merusak moral masyarakat, termasuk kalangan ningrat dan perjuang bangsa Indonesia.

Atau cermati saja kasus Yogyakarta. Hingga sekarang etnis Tionghoa di Yogya dilarang memiliki hak milik tanah. Ini bukan karena diskriminasi tapi karena latar belakang sejarah etnis Tionghoa sendiri yang buruk.

Pakar Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Suhartono menuturkan ada faktor historis tentang larangan WNI nonpribumi memiliki tanah di Yogyakarta.

Menurut dia, dalam kacamata sejarah, dendam itu dilatarbelakangi oleh sikap kalangan Tionghoa yang terkesan mengeksploitasi kalangan pribumi pada masa kolonial Hindia Belanda. Selain itu, adanya aktivitas menjual candu diyakini turut menjadi salah penyebab.

"Sehingga dulu pada tahun 1905 itu ada amuk di sini, di Yogya. Karena itu orang dilarang ke desa-desa, sebab ke desa itu operasionalnya (kalangan Tionghoa) untuk ngedol (menjual) candu," kata Suhartono dikutip detik.com edisi Sabtu, 23 Nopember 2019.

Menurut Suhartono, kalangan Tionghoa terkesan dilindungi politik kolonial. Atas dukungan itu akhirnya mereka berhasil tampil sebagai salah satu ekonomi terkuat. Kondisi sebaliknya dialami kalangan pribumi.

"Ada dasar historisnya itu hingga ada aturan tersebut," ungkap penulis buku 'Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920' itu.

Menurut Suhartono, kendati ditandatangani Paku Alam VIII, namun pada dasarnya larangan tersebut keluar karena titah Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masa itu, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX.

Tampaknya tren menghabisi etnis Arab dan membela etnis Tionghoa merupakan grand design politik nasional dan internasional. Mereka ingin membumihanguskan etnis Arab dengan berbagai cara. Padahal etnis Arab bukan hanya berjasa pada bangsa Indonesia - karena banyak pahlawan Indonesia terdiri dari etnis Arab - tapi juga sangat berjasa bagi Islam.

Apakah mereka juga punya target untuk menghabisi umat Islam? Wallahua’lam bishhawab. Tapi apa pun agenda politik mereka kita harus obyektif dan adil. Bahwa kita tak bisa menghabisi etnis Arab dan juga tak bisa menghabisi etnis Tionghoa. 

Sikap Gus Dur harus menjadi teladan bagi kita semua. Yaitu mencintai para habaib dan juga menyayangi etnis Tionghoa. Kita tak menoleransi sikap rasis yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. (mma)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO