BANGSAONLINE.com - KPID Jatim serta Jabar sepakat konten layanan video audio Over The Top (OTT) di media on demand, dan media sosial perlu diatur. Salah satu alasannya adalah memberikan keadilan di industri penyiaran, baik yang terestrial maupun berbasis internet.
"Media penyiaran terestrial seperti televisi dan radio yang wajib mematuhi ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dalam memproduksi konten siaran, sementara tidak ada regulasi yang mengatur siaran di media sosial dan media on demand," kata Ketua KPID Jatim, Immanuel Yosua Tjiptosoewarno, Senin (29/4/2024).
Baca Juga: Pj Adhy Karyono Dinobatkan Sebagai Kepala Daerah Peduli Penyiaran 2024 oleh KPID Jatim
Ia mengatakan hal ini berbahaya karena banyak konten kekerasan, seksual, dan muatan dewasa lain yang mudah diakses layanan OTT. Ia juga sering mendapatkan keluhan dari orang tua yang anaknya terdampak konten dewasa setelah mengakses media sosial.
Karena tidak punya wewenang mengatur layanan OTT, lanjut Yosua, KPID Jatim hanya bisa menyarankan orang tua untuk mendampingi anak-anaknya saat mengakses dan segera melapor ke layanan penyedia video atau audio tersebut.
"Berbeda dengan televisi dan radio, Komisi Penyiaran Indonesia bisa menegur dan memberi sanksi administratif kepada mereka saat kontennya bermasalah. Mayoritas televisi dan radio yang ditegur langsung mengoreksi siaran mereka," tuturnya.
Baca Juga: KPID Jatim Sebut 80 Persen Radio Berjaringan Tak Penuhi Konten Lokal
Ditambahkan, KPID Jawa Barat mengatakan pengaturan konten di layanan OTT memberikan rasa aman dan nyaman tidak hanya masyarakat, namun juga bagi lembaga penyiaran berbasis frekuensi. Ketua KPID Jabar, Adiyana Slamet, mengatakan banyak lembaga penyiaran mengeluhkan bahwa seolah olah pemerintah mendiskriminasikan lembaga penyiaran berbasis frekuensi ketimbang lembaga penyiaran berbasis internet.
"Karena penyiaran yang berbasis internet ini sangat bebas nya memunculkan konten. Negara harus menyelamatkan lembaga penyiaran dan juga masyarakat dari tontonan apa yang dilihat dan di dengar," ucapnya.
Perihal ketakutan masyarakat atas regulasi yang merepresi, Adiyana menjelaskan regulasi penyiaran berbasis OTT yang setara dengan media penyiaran terestrial justru melindungi pembuat konten dibanding peraturan saat ini.
Baca Juga: Konten Kreator Asal Bangkalan yang Posting Video "Guru Tugas" Akhirnya Minta Maaf
Sekarang, pembuat konten banyak yang terjerat sanksi pidana saat siarannya bermasalah karena mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Di sisi lain, lanjut Adiyana, penyedia media sosial yang memuat konten bermasalah tersebut tidak dikenai sanksi seperti penggunanya.
"Tidak ada sanksi pidana bagi konten yang bermasalah di televisi dan radio selama mereka mau memperbaiki. Regulasi terhadap layanan OTT justru melindungi content creator karena penindakan pelanggaran dilakukan melalui mediasi dan diberikan sanksi adminstratif bukan pidana seperti UU ITE," urai Adiyana.
Karena alasan-alasan ini, KPID Jatim dan KPID Jabar sepakat perlunya revisi Undang Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran agar relevan dalam konteks penyiaran saat ini. Revisi UU Penyiaran perlu memasukkan regulasi yang mengatur secara kongkret tentang aturan main bagi penyiaran berbasis internet. (*)
Baca Juga: Hasiarnas 2024, KPID Jatim Dorong Lembaga Penyiaran Lakukan Transformasi Digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News