
MALANG, BANGSAONLINE.com - Tragedi longsor yang menghantam empat unit bangunan di Begawan Villa, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, pada Sabtu (26/4/2025) lalu, menggugah perhatian terkait pembangunan di kawasan lereng yang berisiko tinggi terhadap bencana alam.
Pakar Planologi dari ITN Malang, Ibnu Sasongko, menyatakan bahwa pembangunan di kawasan lereng memerlukan perhatian khusus terhadap tingkat kemiringan atau kelerengan tanah.
“Dalam proses pembangunan, pihak pengembang harus melakukan analisis menyeluruh terhadap risiko yang mungkin timbul. Semakin curam suatu lereng, semakin tinggi kebutuhan akan pengolahan tanah yang tepat, seperti cut-fill, galian-urugan, dan pemadatan yang memadai,” ujar Ibnu, Senin (28/4/2025).
Istilah cut-fill merujuk pada teknik pengolahan lahan yang digunakan untuk meratakan atau menyesuaikan elevasi tanah. Proses ini melibatkan penggalian tanah (cut) di area yang lebih tinggi dan mengurugkan tanah tersebut (fill) ke area yang lebih rendah untuk menciptakan permukaan tanah yang rata dan stabil.
Sedang Galian atau urugan adalah proses menggali tanah dari satu lokasi dan menggunakannya untuk mengurug tanah di lokasi lain. Teknik ini penting untuk memperbaiki struktur tanah yang tidak merata, agar tanah lebih stabil untuk pembangunan.
Terakhir, pemadatan adalah proses pemadatan tanah untuk meningkatkan daya dukungnya, agar tanah tidak mudah bergerak atau longsor.
Sebagai langkah antisipasi, pembangunan di kawasan dengan lereng curam harus dilengkapi dengan plengsengan dan sistem drainase yang tepat agar dapat menahan pergerakan tanah.
Pembangunan tanpa pertimbangan tersebut dapat menambah potensi bahaya yang lebih besar, apalagi jika pihak pengembang tidak melakukan kajian dampak risiko yang mendalam.
Di sisi lain, Direktur Begawan Villas, Yuli Soehartono, mengonfirmasi bahwa di sekitar kawasan vila tengah dilakukan pengerjaan penguatan plengsengan menggunakan alat berat.
Yuli menegaskan bahwa sebelum kejadian, penghuni vila telah direlokasi sebagai langkah antisipasi setelah adanya tanda-tanda keretakan pada bangunan akibat aktivitas alat berat.
“Beberapa hari sebelum longsor terjadi, sudah ada keretakan-keretakan. Kami sudah merelokasi penghuni, dan saat longsor terjadi, tidak ada penghuni di dalam vila,” ujar Yuli.
Menurutnya, keputusan untuk meratakan bangunan yang terdampak longsor diambil untuk mengurangi risiko yang lebih besar di masa depan.
“Kami memilih untuk menuntaskan masalah ini agar tidak berlarut-larut dan mengancam keselamatan penghuni di masa depan,” jelasnya.
Kejadian ini menyoroti pentingnya proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang mempertimbangkan aspek risiko bencana, terutama di kawasan rawan longsor.
Sebagai informasi, menurut regulasi yang berlaku, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pembangunan di kawasan rawan bencana hanya boleh dilakukan jika ada kajian risiko mendalam serta upaya mitigasi yang sesuai.
Demikian juga diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menegaskan bahwa seluruh kegiatan pembangunan harus mengintegrasikan pengurangan risiko bencana.
Hal ini juga dikuatkan oleh Peraturan Menteri PUPR No. 28/PRT/M/2015 yang menyatakan bahwa kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi harus dihindari untuk pembangunan permukiman, kecuali telah dilengkapi dengan kajian geologi dan sistem mitigasi yang memadai. (dad/msn)