
Yuli menegaskan bahwa sebelum kejadian, penghuni vila telah direlokasi sebagai langkah antisipasi setelah adanya tanda-tanda keretakan pada bangunan akibat aktivitas alat berat.
“Beberapa hari sebelum longsor terjadi, sudah ada keretakan-keretakan. Kami sudah merelokasi penghuni, dan saat longsor terjadi, tidak ada penghuni di dalam vila,” ujar Yuli.
Menurutnya, keputusan untuk meratakan bangunan yang terdampak longsor diambil untuk mengurangi risiko yang lebih besar di masa depan.
“Kami memilih untuk menuntaskan masalah ini agar tidak berlarut-larut dan mengancam keselamatan penghuni di masa depan,” jelasnya.
Kejadian ini menyoroti pentingnya proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang mempertimbangkan aspek risiko bencana, terutama di kawasan rawan longsor.
Sebagai informasi, menurut regulasi yang berlaku, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pembangunan di kawasan rawan bencana hanya boleh dilakukan jika ada kajian risiko mendalam serta upaya mitigasi yang sesuai.
Demikian juga diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang menegaskan bahwa seluruh kegiatan pembangunan harus mengintegrasikan pengurangan risiko bencana.
Hal ini juga dikuatkan oleh Peraturan Menteri PUPR No. 28/PRT/M/2015 yang menyatakan bahwa kawasan dengan tingkat kerawanan tinggi harus dihindari untuk pembangunan permukiman, kecuali telah dilengkapi dengan kajian geologi dan sistem mitigasi yang memadai. (dad/msn)