
CIREBON, BANGSAONLINE.com – Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, kembali memfasilitasi acara pengusulan KH Abbas Abdul Jamil sebagai pahlawan nasional. Kali ini bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri Siber Syaikh Nurjati Cirebon (UINSSC) Jawa Barat.
“Sebenarnya Kiai Abbas ini sudah diusulkan sejak tahun 2024 tapi saat itu kurang referensi. Semua masyarakat di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan lainnya sudah tahu kalau Kiai Abbas adalah pejuang kemerdekaan yang jasanya besar terutama dalam pertempuran 10 November di Surabaya,” kata Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA, saat menjadi keynote speaker dalam bedah buku berjudul “Dari Pesantren ke Medan Perang, Kiprah Kiai Abbas Buntet dalam Revolusi Surabaya 1945” karya Dr H Farij Wajdi, M.Pd, dan Jajat Darojat, S.Pd, M.Si, di UINSSC Cirebon, Kamis (21/8/2025).
Pada 2024 Kiai Asep mengaku sibuk dengan Pilkada. Karena putra sulungnya Muhammad Al Barra (Gus Bara) menjadi calon Bupati Mojokerto. “Jadi saat itu saya tak bisa mengawal Kiai Abbas,” kata pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojoketo Jawa Timur itu.
Menurut Kiai Asep, kalau pada 2024 itu Kiai Abbas belum diangkat sebagai pahlawan karena kesalahan para sejarawan.
“Mereka saat itu belum bisa menarasikan perjuangan Kiai Abbas dengan data sumber-sumber primer,” tegas Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu.
Karena itu Kiai Asep pada tahun 2025 mengundang Prof Dr KH Usep Abdul Matin, guru besar sejarah dan peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pahlawan (TP2GP) untuk menulis ulang sejarah Kiai Abbas Abdul Jamil.
Menurut Kiai Asep, Prof Usep Abdul Matin menulis buku Keperintisan, Keperjuangan dan Kepahlawanan KH Abbas Abdul Jamil (1883-1947). Prof Usep menulis buku itu bersama tim, diantaranya Budi Sujati, M.Hum.
“Buku profil Kiai Abbas ini diangkat dari 70 lebih sumber primer dan 26 sumber sekunder,” tutur Kiai Asep sembari mengatakan bahwa upaya menjadikan pahlawan nasional butuh perjuangan politik dan dana cukup besar.
“Menghabiskan miliaran,” tutur kiai miliarder tapi dermawan itu.
Tapi hasil perjuangannya kongkrit. Bahkan Kiai Asep optimistis bahwa Kiai Abbas akan ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada November 2025 mendatang.
Menurut Kiai Asep, di TP2GP Kiai Abbas sudah lolos. “Bukan hanya MS (memenuhi syarat tapi SMS (sangat memenuhi syarat,” kata Kiai Asep yang langsung mendapat tepuk tangan peserta bedah buku.
Kiai Asep berharap Cirebon menjadi kota pahlawan. Menurut dia, kalau Kiai Abbas dianugerahi gelar pahlawan pada 2025 berarti ada dua kiai pesantren di Cirebon yang mendapat gelar pahlawan nasional. Satunya lagi adalah KH Abdul Chalim, ayahanda Kiai Asep.
Menurut Kiai Asep, meski abahnya banyak tinggal di Leuwimunding Majalengka dan bahkan dimakamkan di Leumunding, tapi berasal dari Cirebon.
“Masyarakat lebih mengenal sebagai Kiai Abdul Chalim Cirebon,” kata kiai miliarder tapi dermawan itu.
Menyinggung Kiai Abbas yang mempelopori masuknya pelajaran bahasa Indonesia pada kurikulum pelajaran pesantren di kawasan Cirebon Kiai Asep sangat mengapresiasi. Ia berharap kepeloporan ini memberi semangat kepada masyarakat untuk mengembangkan pondok pesantren dengan mata pelajaran yang dibutuhkan masyarakat sesuai tuntutan jaman.
“Di Amanatul Ummah sebanyak 1.258 santri diterima di perguruan tinggi negeri dan luar negeri seperti berita di koran HARIAN BANGSA itu. Yang diterima di Kedokteran 65 santri,” tutur Kiai Asep.
Tahun ajaran 2025-2026 Kiai Asep menarjetkan 40 santri Amanatl Ummah masuk sekolah TNI dan Polisi sehingga mereka bisa menjadi jenderal. “Untuk Kedokteran sebanyak 100 santri,” kata Kiai Asep menejelaskan targetnya sembari mengajak masyarakat tidak kecil hati.
Menurut Kiai Asep, jasa Kiai Abbas terhadap kemerdekaan bangsa sangat besar. Begitu juga dalam mempertahankan kemerdekaan RI, terutama dalam pertempuaran 10 November di Surabaya.
Menurut dia, pertempuran 10 November di Surabaya di bawah komando dan arahan Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari adalah fakta sejarah yang tak bisa dibantah.
“Sebanyak 30 ribu sampai 40 ribu mayat ditemukan di Sungai Kalimas Surabaya,” kata Kiai Asep mengutip berita koran luar negeri terutama terbitan Amerika Serikat (AS).
Data itu diambil dari berita surat kabar terkemuka Amerika Serikat (AS) The New York Times yang terbit pada 12 November 1945.
Kalimas adalah sungai yang dlintasi Jembatan Merah yang menjadi medan pertempuran 10 November Surabaya.
Kiai Asep mengaku tidak hanya memperjuangkan Kiai Abbas Abdul Jamil sebagai pahlawan nasional tapi juga memperjuangkan KH Muhammad Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng sebagai pahlawan nasional.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) itu berharap Kiai Abbas dan Kiai Muhammad Yusuf Hasyim sama-sama ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
“Semoga Kiai Abbas dan Kiai Muhammad Yusuf Hasyim sama ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada Novemer 2025 ini,” harap Kiai Asep yang ke Cirebon bersama rombongan. Antara lain, Dr Achmad Rubaie, Ketua Harian PAN Jatim, Ahmad Fahcruddin, pengurus PAN Jatim dan Muhammad Ghofirin, Sekjen OPOP dan JKSN.
Menurut Prof Usep Abdul Matin, sejarah memang harus didasarkan fakta dan dokumen.
"Kata Vaulkner, tak ada sejarah tanpa dokumen," kata Prof Usep.
Karena itu sejarah Kiai Abbas yang ia tulis berdasarkan sumber primer.
Berdasarkan sumber-sumber primer itu, menurut Prof Usep, para tokoh pejuang kemerdekaan banyak minta taushiyah kepada Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari.
Guru besar ahli sejarah dan peradaban Islam yang S3-nya di Monash University Australia itu menyebut bahwa Soekarno, Jenderal Soedirman dan Bung Tomo selalu berkonsultasi dengan Hadratussyaikh.
Menurut Prof Usep, Bung Tomo memilih perang terbuka dengan tentara Inggris dan Belanda dalam pertempuran 10 November 1945 Kota Surabaya karena banyak terpengaruh fatwa Hadratussyaikh. Padahal Bung Karno dan Bung Hatta lebih banyak memilih diplomasi.
Masih menurut Prof Usep, Bung Karno sempat melarang Bung Tomo melakukan konfrontasi dengan pihak Inggris. “Karena menurut perhitungan Bung Karno, meski kita punya 60 juta umat Islam tapi dari segi persenjataan kita masih kalah jauh dari Inggris dan sekutunya,” kata Prof Usep yang S2-nya lulusan Duke University AS dan Leiden University Belanda.
Tapi Bung Tomo bersikeras memilih jalan perang. Terutama setelah minta fatwa kepada Hadratussyaikh. “Bung Tomo sangat kecewa ketika datang ke Jakarta menghadap Bung Karno. Bung Tomo melihat banyak gedung bekas markas Jepang di Jakarta ada bendera Belandanya. Padahal di Surabaya bendera Belanda diturunkan,” kata Prof Usep sembari mengatakan bahwa Bung Tomo merupakan salah satu penggerak penurunan bendera Belanda di Hotel Orange Surabaya.
Bung Tomo bahkan bertanya kepada Hadratussyaikh kapan kita akan menyerang kota Surabaya. Hadratussyaikh menjawab: tunggu datangnya Kiai Abbas dari Cirebon. Kiai Abbas memang santri Hadratussyaikh. Kiai Abbas pernah mondok di Pesantren Tebuireng.
Pada tanggal 10 November 1945 Kiai Abbas dan kontingennya tiba di Pesantren Tebuireng dan memutuskan tanggal 10 November 1945 sebagai hari H penyerangan terhadap Inggris/AFNEI/NICA.
“Sabtu menjelang fajar, 10 November 1945, Kiai Abbas Abdul Jamil, para kiai dan santri, berangkat dari Pesantren Tebuireng Jombang, ke Surabaya dengan (naik) kereta api Expres untuk melawan penjajah, sambil menyerukan tiga kali “Merdeka”. Perang terjadi selama 10 hari, mulai 10 November hingga 20 November 1945,” kata Prof Usep.
Karena itu Kiai Asep dan Prof Usep menyimpulkan bahwa Kiai Abbas di bawah arahan Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari adalah tokoh kunci dalam perang 10 November Surabaya. Maka sudah selayaknya pemerintah Indonesia menganugrahkan gelar pahlawan nasional kepada Kiai Abbas Abdul Jamil.
Selain Kiai Asep dan Prof Usep juga tampil sebagai pembicara Dr Fathi Royyani, anggota BRIN, dan Dr. Farij Wajdi, M.Pd, sebagai penulis buku.
Rektor UINSSC Prof Dr Aan Jaelani mengaku sangat mendukung ditetapkannya Kiai Abbas Abdul Jamil sebagai pahlawan nasional. Ia bahkan mengaku meneladani semangat juang Kiai Abbas Abdul Jamil sebagai tokoh penting Cirebon yang dikenal sangat peduli terhadap pendidikan. (MMA)