SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Sudah 17 tahun warga yang berjumlah 200 KK (Kepala Keluarga) di delapan RW Kampung Keputih Timur Pompa Air tak bisa menikmati layanan air bersih dari PDAM Surabaya.
Selama ini, warga Kota Surabaya yang ada di kawasan Keputih Timur Pompa Air, Kelurahan Keputih Sukolilo ini harus membeli air, untuk mendapatkan air bersih. Warga harus merogoh kocek hingga ratusan ribu per bulannya. Kalkulasinya, per gerobak air bersih dibeli seharga Rp 20 ribu. Jika dikalikan dengan jumlah warga, mereka mengelurkan biaya Rp 600 ribu per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih untuk keluarganya.
Baca Juga: Kampung Narkoba di Jalan Kunti Surabaya Kembali Digerebek: 23 Pecandu Direhab, 2 Pengedar Ditangkap
Padahal penghasilan warga yang mayoritas nelayan ini tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan air bersih. Namun, demi kesehatan dan kebutuhan sehari-hari, mereka rela menanggungnya.
Warga Keputih Timur Pompa Air, Hendrix Kurniawan yang memperjuangkan keberadaan air bersih di kampungnya mengatakan, sudah sejak 17 tahun lalu warga di sana tidak bisa mengakses air bersih.
Menurutnya, warga sebenarnya sudah mengajukan berkali-kali untuk bisa mendapatkan air bersih. “Dari 2009 lalu, kemudian pada 2012, kami sampai mengajukan ini ke partai (politik,red). Tetap tidak bisa tembus,” katanya.
Baca Juga: Polisi Bongkar Motif Janda Dibunuh Kekasih di Surabaya, Dipicu Surat Gadai Emas
Menurut dia, PDAM Surya Sembada sebagai Badan Usaha Milik Pemkot Surabaya, sebenarnya mau memasang jaringan itu. Namun, selalu kandas dan tidak terealisasi lantaran ada kendala sehingga PDAM tidak bisa segera masuk ke kampung itu.
Kendalanya, tanah yang ditempati warga bukan tanah milik Pemkot Surabaya. Menurut Hendrix, tanah itu milik Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur. Hendrix mengklaim, warga juga sudah memegang izin pemakaian tanah sempadan saluran Keputih Kejawan itu dari Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur nomor 503.593.1/0011/111.3/2016.
Dikonfirmasi terpisah, Lurah Keputih Yuli Utomo meyakini bahwa tanah yang ditempati warga di Kampung Keputih Timur Pompa Air masih berbatasan dengan tanah milik PT Pakuwon Jati Tbk.
Baca Juga: PT Umroh Kilat Indonesia, Prioritaskan Beri Edukasi ke Para Jemaah
Karena itulah, Yuli tidak bisa memberikan tanda tangan izin pemasangan jaringan pipa tersier PDAM di kampung itu. Padahal salah satu syarat administratif dari PDAM adalah tanda tangan lurah setempat. “Begini lho. Sertifikat Pakuwon ada di sana,” kata Yuli.
Ia mengatakan, dia lebih suka pihak-pihak yang berkaitan dengan kepemilikan tanah, yakni PT Pakuwon Jati Tbk, Dinas PU Pengairan Provinsi Jatim dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Surabaya bertemu di satu meja.
“Saya tidak ingin di sisi lain nanti menjadi bumerang bagi saya. PU Pengairan Provinsi juga sudah menyampaikan, nanti akan diundang lagi untuk bertemu. Makanya, saya tidak bisa menyetujui dulu,” ujarnya.
Baca Juga: Korban Tewas, Begal Perempuan di Surabaya Hanya Dikenakan Pasal Curat, Pengacara Beberkan Alasannya
Kemarin pagi, perwakilan dari seluruh pihak di atas memang telah mendatangi lokasi Kampung Keputih Pompa Air untuk meninjau batas kepemilikan tanah antara PT Pakuwon Jati Tbk dengan milik PU Pengairan Provinsi Jatim.
Manajer Sekretariat dan Humas PDAM Surya Sembada Ari Bimo Sakti membenarkan, PDAM tidak bisa masuk ke wilayah yang tanahnya masih dalam sengketa. Selain itu, Bimo juga membenarkan harus ada tanda tangan dari lurah setempat sebagai persyaratan administratif pembangunan pipa tersier PDAM.
“Sebenarnya, PDAM memang tidak mempermasalahkan tanah siapapun asalkan warga mempunyai izin dari pemiliknya. Tanda tangan lurah itu memang sebagai syarat administratif,” ujar Bimo.
Baca Juga: Hearing Lanjutan soal RHU dan Efek Pengendara Mabuk, DPRD Surabaya Soroti SOP, Perizinan, dan Pajak
Warga yang gerah dengan kebijakan lurah ini telah melaporkan masalah pemasangan pipa tersier air bersih ini kepada Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur. Baik lurah, serta perwakilan Bidang Pemerintahan Pemkot Surabaya, serta PDAM Surya Sembada, juga sudah bertemu dengan Ombudsman RI Perwakilan Jatim.
Ketua Ombudsman RI Perwakilan Jatim Agus Widyarta mengatakan warga memang melaporkan hal ini kepadanya.”Laporan masuk ke kami, dan kami tindaklanjuti. Kami panggil lurah, juga Bidang Pemerintahan Pemkot Surabaya. Jawabannya sama, karena ada sertifikat Pakuwon. Ya saya tanya, apa itu tidak salah,” ujar Agus.
Agus mempertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi? Sebab menurutnya, kalau memang pengelolaan tanah itu ada pada Dinas PU perairan, bagaimana bisa PT Pakuwon memiliki sertifikat tanah di sana.
Baca Juga: Terpengaruh Medsos, Siswi SMK di Surabaya Kabur dari Rumah
Dalam waktu dekat, Dinas PU Pengairan Jatim berencana akan memanggil Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang telah menyertifikatkan lahan aset dari provinsi, dan juga akan mengundang masyarakat.
“Tadi kita sudah meninjau lokasi dan Dinas PU Pengairan juga akan bersurat pada BPN agar nantinya ada pengukuran ulang. Namun, khawatirnya pengukuran ulang akan mengundang protes warga,” kata Kepala Dinas PU Pengairan Jatim melalui Kasie Pengendalian dan Pengawasan Ruse Rante,
Sebelumnya, Ruse menjelaskan kalau lahan itu dulunya merupakan kewenangan provinsi, setelah otonomi daerah pengelolaan diserahkan Kota Surbaya. Kendati demikian, asetnya masih dalam kewenangan provinsi.
Baca Juga: 3 Kontroversi yang Membuat Publik Sangsi soal Penangkapan Ivan Sugianto oleh Polisi
Pada 1999, ada lahan yang dekat dengan rumah pompa air itu dan kini terdapat permukiman, namun warga itu sudah mendapatkan izin pemanfaatan dari Dinas PU Pengairan Jatim. “Setelah itu, sempat tidak diperpanjang, tahun lalu kemudian diperpanjang kembali. Awalnya memang ada 30 KK dan sekarang menjadi 120 KK,” jelasnya.
Selanjutnya pada 2015, lahan tersebut yang kini ditempati warga itu sudah disertifikatkan Pakuwon. “Ternyata dalam sertifikatnya itu, hampir semua lahan disertifikatkan. Yang jadi masalah, di belakang rumah itu ada tiga atau empat patok yang sudah ketemu. Batas BPN batas tanah negara dengan tanah tambak masyarakat. Masih untung ada patoknya,” katanya.
Dikatakannya meskipun ada batas patok yang masih ada, sayangnya Pakuwon sudah menyertifikatkan lahan itu termasuk sempadan sungai. “Ketika kita ingin mengetahui kreteg desa, anehnya dari lurah tidak mau membukanya kreteg desa tersebut. Untungnya ada warga yang sudah mencopy kreteg desa, termasuk surat lurah lama yang menunjukkan kalau tanah itu tanah negara,” paparnya.
Baca Juga: Untuk Imbangi Produksi Ikan Tangkap Jatim yang Tinggi, Khofifah: Pasar Pabean Butuh Peningkatan
Ia pun juga mempertanyakan pada BPN terkait sertifikat seluruh lahan di wilayah tersebut. “Tidak semua tambak masyarakat itu merupakan tambak masyarakat. Padahal ada lahan yang merupakan aset dalam kewenangan provinsi,” katanya.
Dijelaskan juga, ketika diukur melalui patok, lahan permukiman hingga sempadan sungai saat ini sekitar 40 meter dari bibir sungai. Diperkirakan total luasan 4.000 m2 dengan luasan bervariasi dari bibir sungai. “Ada yang 30 meter dan ada 40 meter, namun rata-rata 40 meter,” ujarnya. (yul/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News